Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

15 Oktober 2009

Shalat Khusyu’

Jika semua ibadah disampaikan pewajibannya kepada Nabi melalui malaikat Jibril. Tidak demikian halnya dengan shalat, ibadah ini disampaikan secara langsung oleh Allah melalui peristiwa besar yang dialami seorang hamba, Isra’ dan Mi’raj. Shalat adalah ibadah paling utama dalam Islam. Bahkan ia adalah amal pertama yang akan ditanyakan Allah ketika seseorang masuk ke dalam kuburnya. Begitu penting shalat di antara amal ibadah ini maka seorang muslim diwajibkan mengerjakannya lima kali sehari semalam, di tambah lagi dengan shalat-shalat sunnah. Jika pada ibadah lain kewajibannya disyaratkan adanya istitha’ah (kemampuan) seperti haji dan zakat. Pada ibadah puasa, kalau seseorang tidak mampu melaksanakannya karena sakit atau uzur lainnya, ia boleh mengganti puasa di hari lain atau bahkan boleh menggantinya dengan fidyah jika benar-benar tidak mampu melakukannya, seperti jika seseorang sakit parah atau berusia lanjut. Maka dalam shalat uzur yang membuat uzur fisik yang menjadikan seseorang boleh meninggalkannya sampai ia bertemu dengan Allah.

Urgensi Khusyu’ dalam Shalat

1.Khusyu’ dalam shalat adalah cermin kekhusyu’an seseorang di luar shalat.
Khusyu’ dalam shalat adalah sebuah ketundukan hati dalam dzikir dan konsentrasi hati untuk taat, maka ia menentukan nata’ij (hasil-hasil) di luar shalat. Oleh karena itulah Allah memberi jaminan kebahagiaan bagi mu’min yang khusyu’ dalam shalatnya.
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang dalam shalatnya selalu khusyu’” (Al-Mu’minun:1-3).

Begitu juga iqamatush-shalah yang sebenarnya akan menjadi kendali diri sehingga jauh dari tindakan keji dan munkar. Allah berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Dan tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah tindakan keji dan munkar” (Al-Ankabut:45).

Sebaliknya, orang yang melaksanakan shalat sekedar untuk menanggalkan kewajiban dari dirinya dan tidak memperhatikan kualitas shalatnya, apalagi waktunya, maka Allah dan Rasul-Nya mengecam pelaksanaan shalat yang semacam itu. Allah berfirman,
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka celakalah orang-orang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya” (Al-Maun: 4-5)

Shalat yang tidak khusyu’ merupakan ciri shalatnya orang-orang munafik. Seperti yang Allah firmankan,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sessungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah (balas) menipu mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri malas-malasan, mereka memamerkan ibadahnya kepada banyak orang dan tidak mengingat Allah kecuali sangat sedikit” (An-Nisa’:142).

Rasulullah saw. bersabda,
تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا
“Itulah shalat orang munafiq, ia duduk-duduk menunggu matahari sampai ketika berada di antara dua tanduk syetan, ia berdiri kemudian mematok empat kali, ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (Diriwayatkan Al-Jama’ah kecuali Imam Bukhari).

2. Hilangnya kekhusyu’an adalah bencana bagi seorang mukmin.
Hilangnya kekhusyu’an dalam shalat adalah musibah (bencana) besar bagi seorang mukmin. Ini bisa memberi pengaruh buruk terhadap pelaksanaan agamanya, karena shalat adalah tiang penyangga tegaknya agama. Maka Rasulullah saw. berlindung kepada Allah, “Ya, Allah aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak puas, mata yang tidak menangis, dan do’a yang tidak diijabahi”

3. Khusyu’ adalah puncak mujahadah seorang mukmin
Khusyu’ adalah puncak mujahadah dalam beribadah, hanya dimiliki oleh mukmin yang selalu bersungguh-sungguh dalam muraqabatullah. Khusyu’ bersumber dari dalam hati yang memiliki iman kuat dan sehat. Maka khusyu’ tidak dapat dibuat-buat atau direkayasa oleh orang yang imannya lemah. Pernah ada seorang laki-laki berpura-pura shalat dengan khusyu’ di hadapan umar bin Khatthab ra. dan ia menegurnya, “Hai pemilik leher. Angkatlah lehermu! Khusyu; itu tidak berada di leher namun berada di hati.”

Ayat-ayat tentang khusyu’ dalam shalat:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. (Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 45-46).

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya.” (Al-Mukminun: 1-2).
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah: 238).
Al-Mujahid berkata, “Di antara bentuk qunut adalah tunduk, khusyu’, menundukkan pandangan, dan merendah karena takut kepada Allah.
“Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Al-Insyirah: 7-8)

Al-Mujahid berkata, “Kalau kamu selesai dari urusan dunia segeralah malakukan shalat, jadikan niat dan keinginganmu hanya kepada Allah.”

Hadits-hadits dan atsar anjuran tentang shalat khusyu’

عَنْ أَنسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْْهِ وَسَلَّمَ ” َاْذُكُرِ الْمَوْتَ فِى صَلاَتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِى صَلاَتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلاَتَهُ وَصَلَّى صَلاَةَ رَجُلٍ لاَ يَظُنُّ أَنَّهُ يُصَلِّى صَلاَةً غَيْرَهَا وَإِيَّاكَ وَكُلُّ أَمْرٍ يُعْتَذَرُ مِنْهُ ” رواه الديلمي فى مسند الفردوس وحسنه الحافظ ابن حجر و تابعه الألباني
Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Ingatlah akan kematian dalam shalatmu karena jika seseorang mengingat kematian dalam shalatnya tentu lebih mungkin bisa memperbagus shalatnya dan shalatlah sebagaimana shalatnya seseorang yang mengira bahwa bisa shalat selain shalat itu. Hati-hatilah kamu dari apa yang membutmu meminta ampunan darinya.” (Diriwayatkan Ad-Dailami di Musnad Firdaus, Al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya hasan lalu diikuti Albani.

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عِظْنِي وَأَوْجِزْ فَقَالَ إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمَعْ الْإِيَاسَ مِمَّا فِي يَدَيْ النَّاسِ رواه أحمد وحسنه الألباني
Abu Ayyub Al-Anshari ra berkata, seseorang datang kepada Nabi saw. lalu berkata, “Nasihati aku dengan singkat.” Beliau bersabda, “Jika kamu hendak melaksanakan shalat, shalatnya seperti shalat terakhir dan janganlah mengatakan sesuatu yang membuatmu minta dimaafkan karenanya dan berputus asalah terhadap apa yang ada di angan manusia.” (Diriwayatkan Ahmad dan dinilai hasan oleh Albani).

عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنْ الْبُكَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رواه أبو داود و الترمذي
Dari Mutharif dari ayahnya berkata, “Aku melihat Rasulullah saw shalat dan di dadanya ada suara gemuruh bagai gemuruhnya penggilingan akibat tangisan.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi).

عَنْ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ “مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْمُ فِى صَلاَتِهِ فَيَعْلَمُ مَا يَقُوْلُ إِلاَّ انْتَفَلَ وَهُوَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ رواه الحاكم وصححه الألباني
Utbah bin Amir meriyatkan dari Nabi yang bersabda, “Tidaklah seorang muslim berwudhu dan menyempurnakan wudhunya lalua melaksakan shalat dan mengetahuai apa yang dibacanya (dalam shalat) kecuali ia terbebas (dari dosa) seperti di hari ia dilahirkan ibunya.” (Diriwayatkan Al-Hakim dan dinilai shahih oleh Albani).
Khusyu’nya para Salafus Shalih

Abu Bakar
Imam Ahmad meriwatkan dari Mujahid bahwa Abdullah bin Zubair ketika shalat, seolah-olah ia sebatang kayu karena kyusyu’nya. Abu Bakar juga demikian.

Umar bin Khathab
Juga diriwayatkan ketika Umar melewati satu ayat (dalam shalat). Ia seolah tercekik oleh ayat itu dan diam di rumah hingga beberapa hari. Orang-orang menjenguknya karenanya mengiranya sedang sakit.

Utsman bin Affan
Muhammad bin Sirin meriwayatkan, istri Utsman berkata bahwa ketika Utsman terbunuh, malam itu ia menghidupkan seluruh malamnya dengan Al-Qur’an.

Ali bin Abi Thalib
Dan adalah Ali bin Abi Thalib, ketika waktu shalat tiba ia begitu terguncang dan wajahnya pucat. Ada yang bertanya, “Ada apa dengan dirimu wahai Amirul Mukminin?” ia menjawab, “Karena waktu amanah telah datang. Amanah yang disampaikan kepada langit, bumi, dan gunung, lalu mereka sanggup memikulnya dan aku sanggup.”

Zainal Abidin bin Ali bin Husain
Diriwayatkan pula ketika Zainal Abidin bin Ali bin Husain berwudhu, wajahnya berubah dan menjadi pucat. Dan ketika shalat, ia menjadi ketakutan. Ketika ditanya tentang hal itu ia menjawab, “Tahukan anda di hadapan siapa anda berdiri?”

Hatim Al-Asham
Seseorang melihat Hatim Al-Asham berdiri memberi nasihat kepada orang lain. Orang itu berkata, “Hatim, aku melihatmu memberi nasihat orang lain. Apakah kamu bisa shalat dengan baik?”
“Ya.”
“Bagaimana kamu shalat?”
“Aku berdiri karena perintah Allah.
Aku berjalan dengan tenang.
Aku masuk masjid dengan penuh wibawa.
Aku bertakbir dengan mangagungkan Allah.
Aku membaca ayat dengan tartil.
Aku duduk tasyahud dengan sempurna.
Aku mengucapkan salam karena sunnah dan memasrahkan shalatku kepada Rabbku.
Kemudian aku memelihara shalat di hari-hari sepanjang hidupku.
Aku kembali sambil mencaci diriku sendiri.
Aku takut kiranya shalatku tidak diterima.
Aku berharap kiranya shalatku diterima.
Jadi, aku berada di antara harap dan takut.
Aku berterima kasih kepada orang yang mengajarkanku dan mengajarkan kepada orang yang bertanya.
Dan aku memuji Tuhanku yang memberi hidayah kepadaku.

Muhammad bin Yusuf berkata,
“Orang seperti kamu ini berhak untuk memberi nasihat.”
Kecaman Bagi yang Meninggalkan Kekhusyukan
Sifat seorang mukmin adalah khusyu’ dalam shalat, sementara orang yang lalai dan tidak bisa khusyu’ dalam shalatnya seperti sifat orang-orang munafik.

Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah yang (membalas) menipu mereka. Apabila hendak shalat, mereka melaksanakannya dengan malas dan ingin dilihat manusia serta tidak berzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan Ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (An-Nisa’ : 142-143).

Inilah sifat orang-orang munafik dalam amal yang sangat mulia, shalat. Ini disebabkan pada diri mereka tidak ada niat, rasa takut, dan keimanan kepada Allah. Sifat lahiriyah mereka adalah malas dan sifat batiniyah lebih buruk lagi, agar dilihat oleh orang lain.

Seperti firman Allah yang lain,
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan Karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At-Taubah: 54).
Dalam kondisi apapun mereka tidak melakukan shalat selain bermalas-malasan. Karena tidak ada pahala yang mereka harapkan dan tidak ada yang mereka takutkan. Maka dengan shalat itu mereka hanya ingin menampakkan sebagai orang Islam dan demi kepentingan dunia semata.

Rasulullah pernah mengingatkan orang yang nampak tidak khusyu’ dalam shalatnya bahkan menyusuh orang itu untuk mengulanginya. Abu Hurairah meriwatkan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
Bahwa Nabi masuk masjid kemudian masuk pula seseorang ke dalam masjid lalu ia shalat dan mengucapkan salam kepada beliau. Nabi saw menjawab salamnya dan bersabda, “Kembalilah dan shalatlah lagi, sebab kamu belu shalat.” Serta merta orang itu pun shalat lalu mengucapkan salam kepada Nabi saw dan beliau besabda, “Kembalilah dan shalatlah lagi, sebab kamu belu shalat,” tiga kali. Orang itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa lebih baik dari itu, maka ajarilah aku.” Beliau bersabda, “Apabila kamu hendak shalat beratkbirlah lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an (Al-Fatihah). Lalu ruku’lah sampai kamu benar-benar tenang dalam ruku’, kemudian angkatlah sampai tegak berdiri, lalu sujudlah sampai tenang dalam sujud, kemudian bangunlah sampai kamu tenang dalam duduk, kemudian sujudlah sampai kamu tenang dalam sujud. Lakukan hal itu dalam semua shalatmu.”
Abu Darda’ meriwatkan dari Nabi saw. yang bersabda,
أَوَّلُ شَيْئٍ يُرْفَعُ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ الْخُشُوْعُ حَتَّى لاَ تَرَى فِيْهَا خَاشِعًا
“Hal pertama yang diangkat dari ummat ini adalah khusyu’sampai-sampai kamu tidak menemukan seorang pun yang khusyu’.” (Thabrani dengan sanad baik dan dinilai shahih oleh Albani).

Thalq bin Ali Al-Hanafi ra berkata, Rasulullah saw bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللهُ صَلاَة َعَبْدٍ لاَ يُقيْمُ فِيْهَا صُْلْبَهُ بَيْنَ ركُوْعِهَا وَ سُجُوْدِهَا
“Allah tidak akan melihat shalat seseorang hamba yang tidak tegak tulang sulbinya antara tuku’ dan sujudnya.” (Diriwayatkan Thabrani dan dishahihkan Albani).
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ الأَشْعَرِي أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله ِعَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَأى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَينْقِرُ فِى سُجُوْدِهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : “لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ” مَثَلُ الَّذِي لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَ يَنْقِرُ فِى سُجُوْدِهِ مَثلُ الْجَاِئع ، يَأكُلُ التَّمْرَ ةَ أَوِ التَّمْرَتَيْنِ لاَ يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا”
Abu Abdullah Al-Asy’ari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematok dalam sujudnya dalam shalatnya. Rasulullah saw bersabda, “Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti ini tentu ia mati di luar agama Muhammad saw.” Lalu beliau bersabda lagi, “Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematok dalam sujudnya bagai orang lapar lalu ia makan satu atau dua biji kurma namun tidak merasa kenyang sedikit pun.” (Diriwayatkan Thabrani di Al-Kabir, Abu Ya’la, dan Khuzaimah. Albani menilainya hasan).
Atsar tentang ancaman bagi mereka yang mengabaikan khusyu’ dalam shalat.

Umar bin Khatthab
Umar bin Khatthab ra pernah melihat seseorang yang mengangguk-anggukkan kepalanya dalam shalat lalu ia berkata, “Hai pemilik leher. Angkatlah lehermu! Khusyu; itu tidak berada di leher namun berada di hati.”

Ibnu Abbas
“Kamu tidak mendapatkan apa-apa dari shalatmu selain apa yang kamu mengerti darinya.”
“Dua rakaat sederhana yang penuh penghayatan lebih baik daripada qiyamul-lail namun hatinya lalai.”

Salman
“Shalat adalah takaran. Barangsiapa memenuhi takaran itu akan dipenuhi (pahalanya) dan barangsiapa curang ia akan kehilangan (pahalanya). Kalian telah tahu apa yang Allah katakan tentang orang-orang yang curang terhadap takaran.”

Hudzaifah
“Hati-hatilah kalian terhadap kekhusyu’an munafik.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dengan kekhusyu’an munafik itu?” Ia menjawab, “Yaitu orang yang kamu lihat jasadnya khusyu’ namun hatinya tidak khusyu’.”

Said bin Musayyib
Ia melihat seseorang yang main-main dalam shalatnya lalu berkata, “Kalau hati orang ini khusyu’ tentu raganya juga khusyu’.”

Ibul Qayyim
Lima tingkatan manusia dalam shalat:
Pertama: Tingkatan orang yang mendzalimi dan sia-sia. Orang yang selalu kurang dalam hal wudhu’nya, waktu-waktu shalatnya, batasan-batasannya, dan rukun-rukunnya.

Kedua: Orang yang memelihara waktu-waktunya, batasan-batasannya, rukun-rukun lahiriyahnya, dan wudhu’nya. Akan tetapi ia tidak bermujahadah terhadap bisikan-bisikan di saat shalat akhirnya ia larut dalam bisikan itu.

Ketiga: Orang yang memelihara waktu-waktunya, batasan-batasannya, rukun-rukun lahiriyahnya, dan wudhu’nya. Ia juga bermujahadah melawan bisikan-bisikan dalam shalatnya agar tidak kecolongan dengan shalatnya. Maka ia senantiasa dalam shalat dan dalam jihad.

Keempat: Orang yang ketika melaksanakan shalat ia tunaikan hak-haknya, rukun-rukunnya, dan batasan-batasannya. Haitnya tenggelam dalam upaya memelihara batasan-batasannya dan rukun-rukunnya agar tidak ada yang menyia-nyiakannya sedikitpun. Seluruh perhatiannya terpusat kepada upaya memenuhi sebagaimana mestinya, secara sempurna dan utuh. Hatinya benar-benar larut dalam urusan shalat dan penyembahann kepada Tuhannya.

Kelima: Orang yang menunaikan shalat seperti di atas (keempat) di samping itu ia telah meletakkan hatinya di haribaan Tuhannya. Dengan hatinya ia melihat Tuhannya, merasa diawasi-Nya, penuh dengan cinta dan mengagungkan-Nya. Seoalah-olah ia melihat da menyaksikan-Nya secara kasat mata. Seluruh bisikan itu menjadi kecil dan tidak berarti da ada hijad yang begitu tinggi antaranya dengan Tuhannya dalam shalatnya. Hijab yang lebih kuat daripada hijab antara langit dan bumi. Maka dalam shalatnya ia sibuk bersama Tuhannya yang telah menjadi penyejuk matanya.

Tingkatan pertama Mu’aqab (disiksa karena kelalaiannya), yang kedua Muhasab (dihisab), yang ketiga Mukaffar ‘Anhu (dihaspus kesalahannya), yang ketiga Mutsab (mendapatkan pahala), dan yang kelima Muqarrab min Rabbihi (yang didekatkan kepada Tuhannya) karena ia mendapatkan bagian dalam hal dijadikannya shalat sebagai penyejuk mata. Barangsiapa yang dijadikan kesenangannya pada shalatnya di dunia ia akan didekatkan kepada Tuhannya di akhirat dan di dunia ia diberi kesenangan. Lalu barangsiapa yang kesenangannya ada pada Allah dijadikan semua orang senang kepadanya dan barangsiapa yang kesenangannya bukan pada Allah ia akan mendapatkan kegelisahan di dunia.

Contoh Kekhusyu’an Salafus Shalih
Mujahid berkata, “Jika Ibnu Zubair shalat, ia seperti kayu.” Tsabit Al-Banani juga berkata, “Aku pernah melihat Ibnu Zubair sedang shalat di belakang Maqam, ia seperti kayu yang disandarkan, tidak bergerak sama sekali.”
Ma’mar, muazzinnya Salman At-Tamimi berkata, “Salman shalat Isya’ di sampingku lalu aku mendengarnya membaca Tabaraka al-ladzi bi yadihi al-Mulku, ketika sampai pada ayat ini, fa lamma raawhu zulfatan siiat wajuhul ladzina kafaru… Ia mengulang-ulang ayat tersebut samapai orang-orang yang berada di masjid ketakutan dan mereka pun bubar. Aku juga keluar meninggalkannya.”

Kiat-kiat Khusyu’ dalam Shalat

A. Mempersiapkan kondisi batin
1. Menghadirkan hati dalam shalat sejak mulai hingga akhir shalat.
2. Berusaha tafahhum (memahami) dan tadabbur (menghayati) ayat dan do’a yang dibacanya sehingga timbul respon positif secara langsung.
Ayat yang mengandung perintah: bertekad untuk melaksanakan.
Ayat yang mengandung larangan: bertekad untuk menjauhi.
Ayat yang mengandung ancaman: muncul rasa tajut dan berlindung kepada Allah.
Ayat yang mengandung kabar gembira: muncul harapan dan memohon kepada Allah.
Ayat yang mengandung pertanyaan: memberi jawaban yang tepat.
Ayat yang mengandung nasihat: mengambil pelajaran.
Ayat yang menjelaskan nikmat: bersyukur dan bertahmid
Ayat yang menjelaskan peristiwa bersejarah: mengambil ibrah dan pelajarannya.
3. Selalu mengingat Allah dan betapa sedikitnya kadar syukur kita.
4. Merasakan haibah (keagungan) Allah ketika berada di hadapan-Nya, terutama saat sujud. Rasulullah bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Dari Abu Huirairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sedekat-dekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah doa.” (Riwayat Muslim)
5. Menggabungkan rasa raja’ (harap) dan khauf (takut) dalam kehidupan sehari-hari.
6. Merasakan haya’ (malu) kepada Allah dengan sebenar-benar haya’.
Rasulullah bersabda,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa malu tidak akan mendatangkan selain kebaikan” (Muttafaq ‘alaih).
Dan para ulama berkata, “Hakikat haya’ adalah satu akhlak yang bangkit untuk meninggalkan tindakan yang buruk dan mencegah munculnya taqshir (penyia-nyiaan) hak orang lain dan hak Allah.”

B. Mempersiapkan kondisi lahiriyah:
1. Menjauhi yang haram dan maksiat lalu banyak bertaubah kepada Allah.
2. Memperhatikan dan menunggu waktu-waktu shalat.
Rasulullah saw. bersabda,
لَا يَزَالُ الْعَبْدُ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَ فِي الْمَسْجِدِ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ مَا لَمْ يُحْدِثْ
“Seorang hamba senantiasa dalam keadaan shalat selama ia berada di dalam masjid menunggu (waktu) shalat selama tidak batal.” (Bukhari Muslim).
3. Berwudlu’ sebelum datangnya waktu shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلَاةِ وَإِنَّهُ يُكْتَبُ لَهُ بِإِحْدَى خُطْوَتَيْهِ حَسَنَةٌ وَيُمْحَى عَنْهُ بِالْأُخْرَى سَيِّئَةٌ فَإِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ الْإِقَامَةَ فَلَا يَسْعَ فَإِنَّ أَعْظَمَكُمْ أَجْرًا أَبْعَدُكُمْ دَارًا قَالُوا لِمَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ مِنْ أَجْلِ كَثْرَةِ الْخُطَا
“Barangsiapa berwudhu dengan baik kemudian keluar untuk tujuan shalat. Maka orang itu berada dalam shalat selama ia bertujuan menuju shalat. Setiap satu langkahnya ditulis kebaikan dan langkah lainnya dihapus kesalahan.” (Riwayat Imam Malik).
4. Berjalan ke masjid dengan tenang sambil membaca do’a dan dzikirnya.
إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَلاَ تَأْتُوْهَا وَأنْتُمْ تَسْعَوْنَ فَمَا أدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
“Jika kalian berangkat shalat hendaklah dengan tenang janganlah kalian berangkat shalat tergesa-gesa, jika kalian mendapatinya shalatlah dan jika ketinggalan maka sempurnakan.” (Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
5. Menempatkan diri pada shaf depan.
6. Melakukan shalat sunnah sebelum shalat wajib sebagai pemanasan.
7. Shalat dengan menjaga sunnahnya dan menghindari makruhnya.
Allahu a’lam.

10 WASIAT DALAM AL-QURAN

Ada sepuluh wasiat dalam Al-Quran, uraian singkatnya adalah sebagai berikut:

1. Wasiat Pertama: Jangan Menyekutukan Allah SWT.

Janganlah menyekutukan Allah Swt, bahwa Allah adalah Maha Esa, tidak ber-anak dan tidak diper-anakkan. Firman Allah Swt (QS.17 Al-Isra’:22-23):

“Janganlah kamu adakan tuhan yang lain disamping Allah SWT, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah). Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia”.

Firman Allah SWT (QS.: 47 Muhammad: 19):

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mu’min, laki-laki dan perempuan”.

2. Wasiat Kedua: Berbuat Baik Kepada Kedua Orangtua.

Berbuat baiklah kepada kedua orangtua. Firman Allah Swt (QS.: 17 Al-Isra’: 23).:

“Dan hendaklah kamu berbuat baik pada Ibu Bapakmu dengan sebaik-baiknya”:.

Firman Allah SWT (QS.: 31 Luqman: 14-15):

“Bersyukurlah kepada-Mu dan kepada dua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Ku-beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”:.

Walaupun orangtuanya musrik, kita tetap diperintah untuk berbuat baik kepada orangtua.

Firman Allah SWT (QS.: 2 Al-Baqarah: 83).:

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”.

3. Wasiat Ketiga: Larangan Membunuh Anak.

Sekarang ini banyak terjadi orangtua membunuh anak karena berbagai alasan diantaranya adalah faktor kemiskinan.

Firman Allah SWT (QS.: 17 Al-Isra’: 31):

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepada kamu”.

4. Wasiat Keempat: Larangan Mendekati Perbuatan Keji.

Mendekati saja dilarang apalagi mengerjakan sebab dikuatirkan kalau sudah terbiasa mendekati maka akan ada peningkatan menjadi melakukan atau mengerjakan hal keji tersebut.

Firman Allah SWT (QS.: 6 Al-An’am: 151):

“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya maupun yang tersembunyi”.

Firman Allah SWT (QS.: 6 Al-An’am: 120).:

“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi, sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat) disebabkan apa yang telah mereka kerjakan”.

Firman Allah SWT (QS.: 17. Al Isra’: 32).:

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, Dan suatu jalan yang buruk”.

Firman Allah SWT (QS.: 23. Al Mukminun: 7 dan QS.: 70. Al Ma’arij: 31).:

“Barang siapa mencari yang mencari dibalik itu (maksudnya, diluar suami atau istri yang sah), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”.

5. Wasiat Kelima: Larangan Membunuh.

Setelah Allah berwasiyat kepada kita untuk menyembahNYA dan tidak menyekutukan-NYA, setelah berwasiyat kepada kita untuk berbuat baik kepada Ibu Bapak, dan berwasiyat kepada kita untuk tidak membunuh anak sendiri, berwasiyat kepada kita untuk tidak mendekati perbuatan yang keji, sekarang berwasiyat kepada kita, melarang membunuh.

Firman Allah SWT (QS.: 17. Al Isra’: 33).:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar”.

Disamping larangan membunuh, Allah juga melarang bunuh diri. Firman Allah SWT (QS.: 4. An Nisa’: 29).:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada dirimu”.

6. Wasiat Keenam: Larangan Memakan Harta Anak Yatim.

Firman Allah SWT (QS.: 17. Al Isra’: 34 dan QS.: 6. Al An’am: 152).:

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa”.

Firman Allah SWT (QS.: 4. An Nisa’: 2):

“Dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.

7. Wasiat Ketujuh: Perintah Menyempurnakan Takaran dan Timbangan.

Firman Allah SWT (QS.: 6. Al-An’am: 152):

“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya”.

Firman Allah SWT (QS.: 83. Al-Muthaffifin: 1-6).:

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam”.

8. Wasiat Kedelapan: Perintah Berlaku Adil.

Islam berdiiri diatas keadilan, Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya, tidak memandang musuh atau teman.

Firman Allah SWT (QS.:4. An-Nisa’: 135).:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau Ibu Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya maupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.

Firman Allah SWT (QS.: 6. Al-An’am: 152).:

“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu)”.

Firman Allah SWT (QS.: 16. An-Nahl: 90).:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

9. Wasiat Kesembilan: Perintah Memenuhi Janji.

Allah memberi Perintah, kita untuk memenuhi jani, baik janji kepada Allah SWT maupun janji sesama manusia (semua perjanjian).

Firman Allah SWT (QS.: 6. Al-An’am: 152).:

“Dan penuhilan janji Allah, yang demikian itu diperintah Allah kepadamu agar kamu ingat”.

Firman Allah SWT (QS.: 5. Al Maidah: 1).:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.

Firman Allah SWT (QS.: 16. An Nahl: 91).:

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.

10. Wasiat Kesepuluh: Perintah Untuk Mengikuti Jalan Allah.

Firman Allah SWT (QS.: 6. Al-An’am: 153).:

“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-KU yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (ajaran orang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-NYA. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa”.

Firman Allah (QS.: 6. Al-An’am: 162-163).:

“Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.

semoga kita semua bisa melaksanakan kesepuluh wasiyat tersebut, amin ya robal alamin.

4 Wasiat Tentang Waktu

Dari 114 surah di dalam Al Quran, ada 4 surah yang dinamakan dengan waktu. Empat surah itu adalah QS Al Fajr [89], QS Al Lail [92], QS Adh Dhuhaa [93] dan Al ‘Ashr [103]. Al Fajr sendiri berarti waktu shubuh, Al Lail adalah waktu malam, Adh Dhuha adalah waktu dhuha, dan Al ‘Ashr yang berarti waktu ashar (menjelang matahari terbenam).

Pada keempat surah ini Allah ‘Azza Wa Jalla bersumpah dengan keempat waktu tersebut untuk mengingatkan manusia bahwa betapa pentingnya keempat waktu itu bagi sebuah rangkaian kehidupan manusia. Waktu adalah sebuah modal utama bagi seorang hamba Allah untuk menjalankan segala rangkaian kehidupannya dan tak dapat kembali jika sudah terlampaui. Begitu banyak orang yang akhirnya menyesal karena ia telah menyiakan waktunya yang tak dapat kembali itu. Keempat waktu tersebut memiliki keutamaan baik dari segi hikmah maupun ibadah yang menyertainya.

QS Al Fajr
Pada QS Al Fajr yang berarti waktu shubuh, Allah bersumpah dengan waktu shubuh untuk mengingatkan bahwa manusia itu tidaklah dipandang mulia atau hina dari harta yang Allah SWT anugerahkan kepadanya. Allah berfirman:

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dengan memberi kepadanya kelapangan (harta), maka ia berkata: ‘Tuhanku memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya, maka ia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku’. Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak mengajurkan (saling mengajak) untuk memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta warisan dengan jalan mencampuradukkan (yang halal dan yang bathil) dan kamu mencintai harta benda (dunia) dengan kecintaan yang luar biasa” (Q.S. Al Fajr [89]:15-20)

Ini untuk menjawab kekeliruan pemahaman manusia tentang struktur sosial seseorang selalu dipandang dari apakah ia berpunya atau tidak. Allah memakai kata-kata “menguji” dengan memuliakan hamba-Nya melalui rezeki yang lapang tetapi Allah juga memakai kata-kata “menguji” tidak untuk menghinakan hamba-Nya dengan membatasi rezeki nya.

Allah SWT membantah pemahaman manusia tersebut dengan kalimat ‘Sekali-kali tidak demikian’. Dalam membina kehidupan, seorang manusia selalu lalai atau tidak peduli akan keadaan sekelilingnya (anak yatim dan orang miskin). Demikian juga sumber konflik manusia modern selalu tertumpu pada harta (Dalam ayat ini adalah harta warisan). Ayat ini juga menyampaikan kepada kita bahwa kecintaan pada harta benda (baca Dunia) akan menyebabkan seseorang menjadi hina dihadapan Allah.

Ternyata kemuliaan seorang hamba itu di sisi Allah adalah orang-orang yang selalu peduli pada anak yatim, orang miskin, tidak menjadikan harta sebagai tujuan hidupnya dan tidak mencintai dunia secara berlebihan.

Keutamaan dari waktu fajr ini adalah dengan diwajibkannya sholat fardhu shubuh (Fajr). Allah SWT menyatakan keutamaannya di QS Al Israa’ [17]:78, “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (dhuhur dan ashar) sampai gelap malam (maghrib dan isya’) dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh para malaikat).”

QS Al Lail
Pada QS Al Lail, Allah SWT bersumpah dengan waktu malam untuk mengingatkan hamba-hamba-Nya tentang kemuliaan seorang mukmin dan keutamaan amal shaleh mereka. Waktu malam adalah suatu waktu yang amat penting untuk beribadah kepada Allah SWT terlebih di sepertiga malam yang terakhir di saat Allah SWT sangat memperhatikan setiap hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya. Hal ini terdapat di dalam sebuah hadish Qudsi. Rasulullah bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla turun ke langit bumi yang paling bawah setiap sepertiga malam terakhir dan berkata: ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, pasti Ku-kabulkan doanya, siapa yang memohon kepada-Ku, pasti Ku-perkenankan permohonannya, dan siapa yang memohon ampun, pasti Ku-ampuni dosanya.’” (HR. Bukhari, Tirmidzi dan Ahmad)

Pada QS Al Lail Allah SWT menyampaikan bahwa kemulian seorang hamba-Nya itu terletak pada keikhlasannya dalam menafkahkan hartanya untuk membantu sesama. Allah berfirman:

“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (QS Al Lail [92]:4-11)

Allah menjanjikan sebuah jalan yang mudah bagi hamba-Nya dalam kehidupan akhiratnya kelak. Sebuah kemudahan dalam menghadapi sakratul maut, ketika terjadi kiamat, ketika bangkit dari kubur, ketika waktu berhisab di padang mahsyar dan akhirnya mendapat surga yang penuh dengan kenikmatan.

Mayoritas ulama menyebutkan surah ini turun sebagai penghargaan Allah SWT kepada Syaidina Abu Bakr ra, ketika Beliau membebaskan Bilal bin Rabbah ra dari siksaan majikannya Umayyah Ibn Khalaf. Pada saat itu Abu Bakr ra harus membayar mahal tebusannya untuk membebaskan Bilal ra. Ini termaktub dalam ayat-ayat akhir dari QS Al Lail:

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling bertaqwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhan nya Yang Maha Tinggi. Dan kelak ia benar-benar mendapat kepuasan.” (QS Al Lail [92]:17-21)

QS Adh Dhuha
Pada QS Adh Dhuha Allah SWT bersumpah dengan waktu dhuha yaitu waktu matahari naik sepenggalahan. Cahayanya ketika itu tidak terlalu terik sehingga tidak mengganggu sedikitpun. Panasnya masih memberi kesegaran dan kenyamanan bagi seluruh makhluk ciptaan Allah SWT. Dalam surah ini Allah bersumpah bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya apalagi membenci mereka (ayat 3) dalam mengarungi kehidupan dan Allah menjanjikan bahwa perjuangan hidup yang disertai dengan ketaqwaan kepada Allah SWT akan berbuah keberuntungan dan kemuliaan serta kesuksesan pada akhirnya (ayat 4-5).

Riwayat yang dapat dipercaya mengenai turunnya surah ini adalah ketika itu wahyu yang diterima Rasulullah saw berhenti untuk beberapa saat. Nabi sangat gelisah dan takut akan terjadi sesuatu. Sampai-sampai pada saat itu kaum musyrikin Mekah berkata, “Tuhan Muhammad telah meninggalkannya.” Dan berita ini menyebar kemana-mana. Tidak berapa lama kemudian turunlah surah Adh Dhuha ini untuk menghibur Nabi. Kebiasaan surah-surah Al Quran jika tidak ada nama seorang hamba Allah yang spesifik di dalam surah tersebut, maka surah itu berlaku umum untuk seluruh hamba-hamba-Nya walaupun turunnya surah ini adalah berkenan dengan peristiwa yang dialami Nabi.

Di akhir surah ini Allah menyampaikan tuntunan kehidupan agar hamba-hamba-Nya tidak berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim (ayat 9), dan juga tidak menghardik orang yang membutuhkan bantuan/pertolongan (ayat 10), serta apapun yang Allah karuniakan hendaklah disyukuri atau ditampakkan (ayat 11)

Mengenai karunia Allah SWT yang hendaknya disyukuri/ditampakkan ini suatu riwayat menjelaskan sahabat Nabi yang bernama Malik Ibn Nadhrah Al Jusyami ra suatu ketika berada disamping Nabi dalam sebuah majelis. Ia memakai pakaian yang sangat jelek. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki harta? Malik menjawab, “Saya memiliki berbagai macam harta.” Rasulullah kemudian berkata, “Apabila Allah telah menganugerahkan kepadamu harta, maka hendaklah terlihat bekas tersebut pada dirimu. Allah itu Maha Indah dan sangat suka kepada keindahan serta sangat senang melihat bekas nikmat yang dianugerahkannya kepada hamba-Nya.” (HR Nasa’i)

Demikianlah surah ketiga dalam Al Quran yang berbicara mengenai waktu. Rasulullah saw mengajarkan kita untuk mendirikan sholat sunnah dhuha yang amat penting untuk diteladani.

QS Al ‘Ashr
Waktu ‘ashr adalah waktu ketika matahari telah menuju kepada terbenamnya. Allah ‘Azza wa Jalla bersumpah dengan waktu ‘ashr karena perjalanan usaha manusia (dalam mencari nafkah dan penghidupan) sejak pagi sampai sore hari sudah dapat dilihat hasilnya pada saat ‘ashr. Hal ini untuk memperlihatkan apakah hari itu ia merugi ataupun ia mendapat keuntungan.

Dalam surah ini Allah memperingatkan tentang pentingnya untuk mengisi waktu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Sebab jika tidak dimanfaatkan dengan baik hal itu akan menjadikan kerugian bagi diri sendiri (ayat 2). Allah mengingatkan bahwa semua aktifitas manusia (baik dalam mengumpulkan kekayaan ataupun mendapatkan kekuasaan) adalah sebuah kerugian tanpa dilandasi oleh iman dan amal shaleh (ayat3)

Iman adalah keyakinan akan adanya Allah SWT sedangkan amal shaleh adalah segala perbuatan yang beguna baik untuk pribadi, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan yang mendatangkan kebaikan. Iman dan amal shaleh adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan sama sekali karena iman harus dibuktikan dengan amal shaleh, sedangkan amal shaleh tidak mendapat penghargaan disisi Allah sedikitpun tanpa adanya iman. Seseorang yang melakukan suatu pekerjaan tetapi atas dasar dorongan ingin dipuji atau ingin memperoleh keuntungan materi semata, maka pekerjaannya tidak dapat dinilai memenuhi syarat amal shaleh.

Allah menyampaikan tutunannya kepada hamba-hamba-Nya bahwa keberuntungan itu akan diperoleh oleh hamba-hamba-Nya yang saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Kebenaran harus disampaikan dengan cara yang santun dan dilandasi dengan sabar agar dapat membekas kepada orang yang menerimanya. Dalam roda kehidupan yang terus berputar, kebenaran dan kesabaran harus selalu mengiringi langkah setiap hamba-hamba Allah SWT agar memperoleh keberuntungan. Iman Syafi’I menilai surah Al ‘Ashr ini adalah sebuah surah yang sangat sempurna dalam hal petunjuk. Beliau berkata, “Seandainya umat islam memikirkan kandungan surah ini, niscaya tuntunan (petunjuk)nya mencukupi mereka.”

Demikianlah surah yang keempat dan terakhir dalam Al Quran yang berbicara mengenai waktu. Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk melaksanakan sholat ashr pada waktu ini. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang sholat shubuh dan ‘ashr tepat pada waktunya, pasti ia akan masuk surga.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kesimpulan:
Dari keempat surah mengenai waktu (Al Fajr, Al Lail, Adh Dhuha dan Al ‘Ashr) semuanya menekankan akan pentingnya amal sholeh dalam kehidupan manusia. Kepekaan terhadap lingkungan (anak yatim dan orang miskin) harus selalu terasah dan dibuktikan dengan perbuatan (Surah Al Fajr, Al Lail dan Adh Dhuha). Demikian juga seorang hamba Allah harus tetap saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran baik kepada sesama muslim maupun kepada manusia lain yang tidak seiman (Surah ‘Al Ashr) agar dunia ini selalu dalam kedamaian dan jauh dari konflik dan peperangan. Dunia ini indah bukanlah karena harta yang melimpah, tapi dunia ini indah karena keindahan akhlak hamba-hamba Allah yang santun dan menyebarkan kedamaian.