Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

16 Oktober 2009

Jabat Tangan

Dari Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Banyak hal dalam keseharian kita yang mesti dikoreksi. Karena ada di antara kebiasaan yang lazim berlaku di tengah masyarakat kita namun sesungguhnya menyimpang dari syariat. Berjabat tangan dengan lawan jenis adalah contohnya. Praktik ini tersuburkan dengan minimnya keteladanan dari mereka yang selama ini disebut tokoh agama.

Idul Fithri belum lama berlalu. Kegembiraannya masih tertinggal di tengah kita. Saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya masih terdengar tahni`ah, ucapan selamat, “taqabballahu minna wa minkum1.” Tradisi salam-salaman alias berjabat tangan di negeri kita saat hari raya masih terus berlangsung, walaupun sebenarnya untuk saling berjabat tangan dan meminta maaf tidak perlu menunggu hari raya2. Kapan kita memiliki kesalahan maka segera meminta maaf, dan kapan kita bertemu dengan saudara kita maka kita mengucapkan salam dan berjabat tangan.

Berjabat tangan yang dalam bahasa Arab disebut dengan mushafahah memang perkara yang ma’ruf, sebuah kebaikan. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin yang lain, lalu ia mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk menjabatnya, maka akan berguguran kesalahan-kesalahan keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun pepohonan.” (HR. Al-Mundziri dalam At-Targhib 3/270, Al-Haitsami dalam Al-Majma’ 8/36, lihat Ash-Shahihah no. 526)

Amalan yang pertama kali dicontohkan oleh ahlul Yaman (penduduk Yaman)3 kepada penduduk Madinah ini biasa dilakukan di tengah masyarakat kita. Kata shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu:
“Termasuk kesempurnaan tahiyyah (ucapan salam) adalah engkau menjabat tangan saudaramu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 968, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad menyatakan: Sanadnya shahih secara mauquf)

Berjabat tangan telah jelas kebaikannya. Namun bagaimana kalau laki-laki dan perempuan yang bukan mahram saling berjabat tangan, apakah suatu kebaikan pula? Tentu saja tidak!!! Walaupun menurut perasaan masyarakat kita, tidaklah beradab dan tidak punya tata krama sopan santun, bila seorang wanita diulurkan tangan oleh seorang lelaki dari kalangan karib kerabatnya, lalu ia menolak untuk menjabatnya. Dan mungkin lelaki yang uluran tangannya di-”tampik” itu akan tersinggung berat. Sebutan yang jelek pun akan disematkan pada si wanita. Padahal si wanita yang menolak berjabat tangan tersebut melakukan hal itu karena tahu tentang hukum berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan mahramnya.

Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah kita, tak pernah mencontohkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Bahkan beliau mengharamkan seorang lelaki menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Beliau pernah bersabda:
“Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, lihat Ash-Shahihah no. 226)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Dalam hadits ini ada ancaman yang keras bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Dan juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan para wanita, karena jabat tangan tanpa diragukan masuk dalam pengertian menyentuh. Sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini ditimpa musibah dengan kebiasaan berjabat tangan dengan wanita (dianggap sesuatu yang lazim, bukan suatu kemungkaran, -pent.). Di kalangan mereka ada sebagian ahlul ilmi, seandainya mereka mengingkari hal itu hanya di dalam hati saja, niscaya sebagian perkaranya akan menjadi ringan, namun ternyata mereka menganggap halal berjabat tangan tersebut dengan beragam jalan dan takwil. Telah sampai berita kepada kami ada seorang tokoh besar di Al-Azhar berjabat tangan dengan para wanita dan disaksikan oleh sebagian mereka. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita sampaikan pengaduan dengan asingnya ajaran Islam ini di tengah pemeluknya sendiri. Bahkan sebagian organisasi-organisasi Islam berpendapat bolehnya jabat tangan tersebut. Mereka berargumen dengan apa yang tidak pantas dijadikan dalil, dengan berpaling dari hadits ini4 dan hadits-hadits lain yang secara jelas menunjukkan tidak disyariatkan jabat tangan dengan kaum wanita non-mahram.” (Ash-Shahihah, 1/448-449)

Dalam membaiat para shahabiyyah sekalipun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjabat tangan mereka5. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan:
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala: “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk membaiatmu….” Sampai pada firman-Nya: “Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” Urwah berkata, “Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat tersebut’.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepadanya, “Sungguh aku telah membaiatmu”, beliau nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” ‘Aisyah berkata, “Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, “Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat mereka hanya dengan mengucapkan “Sungguh aku telah membaiatmu”, tanpa beliau menjabat tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non mahram) tanpa keperluan darurat, seperti karena pengobatan dan hal lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita yang bisa menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan mahram si wanita). (Al-Minhaj, 13/14)

Umaimah bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membaiat beliau dalam Islam. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi.” Umaimah berkata, “Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu6 wahai Rasulullah!’.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata:

“Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita.” (HR. Malik 2/982/2, An-Nasa`i dalam ‘Isyratun Nisa` dari As-Sunan Al-Kubra 2/93/2, At-Tirmidzi, dll. Lihat Ash-Shahihah no. 529)

Dari hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, jelaslah larangan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Karena seorang lelaki haram hukumnya menyentuh atau bersentuhan dengan wanita yang tidak halal baginya. Al-Imam Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita, dan merupakan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata.7 Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)

Sebagian orang bila ingin berjabat tangan dengan wanita ajnabiyyah atau seorang wanita ingin berjabat tangan dengan lelaki ajnabi, ia meletakkan penghalang di atas tangannya berupa kain, kaos tangan dan semisalnya. Seolah maksud dari larangan jabat tangan dengan ajnabi hanyalah bila kulit bertemu dengan kulit, adapun bila ada penghalang tidaklah terlarang. Anggapan seperti ini jelas batilnya, karena dalil yang ada mencakupinya dan sebab pelarangan jabat tangan dengan ajnabi tetap didapatkan meski berjabat tangan memakai penghalang.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu berkata, “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, baik si wanita masih muda ataupun sudah tua. Dan sama saja baik yang menjabatnya itu anak muda atau kakek tua, karena adanya bahaya fitnah (ujian/cobaan) yang bisa didapatkan oleh masing-masingnya.”
Asy-Syaikh juga berkata, “Tidak ada bedanya baik jabat tangan itu dilakukan dengan ataupun tanpa penghalang, karena keumuman dalil yang ada. Juga dalam rangka menutup celah-celah yang mengantarkan kepada fitnah (ujian/cobaan).”

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengatakan, “Segala sesuatu yang menyebabkan fitnah (godaan) di antara laki-laki dan perempuan hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.”
Tidaklah diragukan bahwa bersentuhannya kulit laki-laki dengan kulit perempuan akan menimbulkan fitnah. Kalaupun ada yang tidak terfitnah maka itu jarang sekali, sementara sesuatu yang jarang terjadinya tidak ada hukumnya sebagaimana dinyatakan oleh ahlul ilmi. Sungguh ahlul ilmi telah menulis permasalahan ini dan mereka menerangkan tidak halalnya laki-laki berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah. Inilah kebenaran dalam masalah ini. Berjabat tangan dengan non mahram adalah perkara yang terlarang, baik dengan pengalas atau tanpa pengalas.”

Beliau juga mengatakan, “Secara umum, tergeraknya syahwat disebabkan sentuhan kulit dengan kulit lebih kuat daripada sekedar melihat dengan pandangan mata/tidak menyentuh. Bila seorang lelaki tidak dibolehkan memandang telapak tangan wanita yang bukan mahramnya, lalu bagaimana dibolehkan ia menggenggam telapak tangan tersebut?” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/541-543)

Demikian masalah hukum berjabat tangan antara lelaki dan wanita yang bukan mahram.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

7 Proyek Amal Islami

Oleh: Tim dakwatuna.com

Seluruh teori kesuksesan yang ditulis dan dikembangkan masyarakat modern bermuara pada satu kata, yaitu amal atau kerja. Kerja dan terus kerja tanpa kenal lelah. Never give up (jangan pernah menyerah). Kemudian lahirlah penemuan-penemuan yang spektakuler. Penemuan listrik, atom, nuklir, pesawat terbang, telepon, mobil, dan lain-lain. Seluruh peradaban modern dibangun atas teori ini. Mereka sangat ahli tentang kehidupan dunia. Dan kesuksesan yang mereka kejar juga hanya kesuksesan di dunia. “Mereka Hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Ruum: 7)

Islam tidak pernah menafikan seluruh karya positif manusia. Tetapi yang disayangkan adalah ketika mereka lalai dan tidak beriman pada prinsip dan pedoman hidup Al-Qur’an, yang sengaja diturunkan Allah untuk manusia. ‘Katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (Al-Kahfi: 103-15)

Islam memiliki teori dan konsep kesuksesan yang lebih lengkap dan sempurna. Konsep amal shalih, bukan sekedar kerja, tetapi kerja yang dilandasi keimanan, keikhlasan dan ilmu yang benar. Kerja yang menembus batas-batas kebendaan duniawi, jauh menuju wilayah tanpa batas, orientasi ukhrawi. Oleh karena itu Imam Syafi’i mengomentari kandungan surat Al-Ashr, ” Kalau saja Allah hanya menurunkan surat ini, maka cukuplah (untuk dijadikan pedoman bagi manusia).”

Bagi umat Islam yang ingin sukses di dunia dan akhirat, maka mereka harus terus menerus beramal shalih. Apalagi jika diukur dengan batas waktu atau umur yang disediakan Allah sangat terbatas. Sehingga mereka harus memprioritaskan waktunya hanya untuk amal shalih saja. Bahkan amal shalih itu sendiri ada tingkatan-tingkatannya. Dalam hukum Islam dikenal lima macam hukum, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga umat Islam harus berupaya keras untuk selalu dalam ruang lingkup wajib dan sunnah saja, minimal mubah, tetapi jangan berlebihan pada yang mubah. Dan ketika jatuh pada batas makruh dan harus, disana masih ada kesempatan bagi umat Islam, yaitu istighfar dan bertaubat. Jangan putus asa!

Dan puncak amal shalih adalah jihad, baik jihad dakwah maupun jihad perang, maka berbahagialah orang-orang beriman yang masuk wilayah ini. Inilah proyek amal islami yang harus menjadi konsens seluruh gerakan Islam, ormas Islam dan lembaga-lembaga keislaman. Ada urutan amal proyek amal islami. Dan amal adalah buah dari ilmu dan keikhlasan. Seperti yang Allah swt. firmankan, “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)

Maraatib Al-‘amal (Grand Desain Proyek Amal Islami)

Ada 7 langkah Grand Desain Proyek Amal Islami yang harus menjadi acuan gerakan Islam, yaitu: Islaahun nafs (reformasi diri), takwiin baitil muslim (membentuk keluarga islami), irsyaadul mujtama (penyadaran masyarakat), tahrirul wathan (memerdekakan negeri), ishlahul hukumah (reformasi pemerintahan), i’aadah al-kiyaan ad-dauli lillummah al-islamiyah (mengembalikan peran umat Islam dalam percaturan internasional), dan ustaadiyatul aalam (menjadi pemimpin dunia).

1. Ishlaahun nafs sehingga menjadi qawiyyul jism (kuat fisik), matiinul khuluq (kokoh akhlaq), mutsaqqaful fikr (cerdas wawasan), qaadiran ‘alal kasam (mampu berusaha), saliimul aqidah (bersih aqidah), shahihul ibadah (benar ibadah), mujaahidan linafsihi (bersungguh-sungguh), hariishan ‘alaa waqtihi (perhatian terhadap waktu), munazhzhaman fii syuunihi (tertib dalam urusan), dan naafi’an lighairihi (bermanfaat untuk orang lain). Ini adalah kewajiban individu setiap anggota.

Sepuluh proyek perbaikan diri itu sangat lengkap untuk setiap individu muslim dan dai muslim yang ingin terus meningkatkan kualitas dirinya. Karena mencakup semua nilai yang sangat penting dan dibutuhkan untuk menuju sukses dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Aqidah, ibadah, akhlak, pemikiran, fisik, usaha, manajemen kegiatan, manajemen waktu, keseriusan, dan memberi orientasi manfaat. Konsep ini lebih lengkap dari setiap konsep pengembangan diri yang digagas dan dilakukan oleh pakar modern.

Segala konsep perbaikan harus dimulai dari diri sendiri, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Ra’du: 11). Dan motor perubahan dalam diri adalah hati, “Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada segumpal darah, jika baik maka seluruhnya baik, dan jika buruk, maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (Bukhari dan Muslim)
..
2. Takwiin baitil muslim dengan cara mengarahkan keluarganya agar menghormati fikrah, menjaga adab Islam dalam kehidupan rumah tangga, baik dalam mencari istri dan melaksanakan hak dan kewajibannya, baik dalam mendidik anak dan khadimah serta membentuk mereka sesuai prinsip-prinsip Islam. Ini juga kewajiban setiap anggota.

Keluarga adalah lembaga yang sangat strategis dalam Islam, begitu strategisnya sampai Al-Qur’an dan Sunnah, dua sumber ajaran Islam memberikan porsi pembahasan tentang keluarga yang begitu besar. Surat-surat An-Nisaa’, An-Nuur, Al-Ahzaab, At-Thalaq begitu sarat membahas detail-detail aturan keluarga dan pola hubungan antara pria dan wanita. Begitu juga surat-surat dan ayat-ayat lainnya tidak pernah lepas dari sentuhan terhadap aspek pembahasan keluarga. Bahkan lebih dari itu, ada beberapa surat yang langsung menceritakan suatu keluarga dan diabadikan sebagai nama surat, seperti surat Ali ‘Imran, Yusuf, Ibrahim, Maryam, dan Luqman.

Begitu juga Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan lebih detail lagi tentang apa dan bagaimana membangun keluarga. Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang keluarga Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga teladan yang harus dicontoh oleh setiap muslim. Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membahas pola hubungan antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, antara keluarga dengan kerabat dan tetangga. Tidak salah kalau Islam disebut dinul usrah. Pembentukan keluarga muslim menjadi proyek kedua amal islami yang harus diperioritaskan.

3. Irsyaadul Mujtama dengan menyebarkan dakwah kebaikan kepada masyarakat, memerangi kehinaan dan kemungkaran, mendorong kemuliaan, amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan berlomba melaksanakan kebaikan, mengarahkan opini umum agar berfihak pada fikrah Islam, dan senantiasa mewarnai kehidupan umum. Ini adalah kewajiban anggota dan jamaah.

Berdakwah ke masyarakat memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks. Jika kita melihat masyarakat Indonesia berarti harus memperhatikan keragaman budaya, status sosial, pendidikan, bahasa, usia, dan lain-lain.

Ada 3 pertimbangan utama jika ingin sukses berdakwah di tengah masyarakat, yaitu pertama: shidqul ma’lumat (benarnya ilmu dan informasi yang disampaikan). Sampai sekarang lembaga Islam dan tokoh-tokoh islam yang bergerak di bidang dakwah masih banyak kesalahan dalam menyampaikan ilmu dan informasi, termasuk ilmu yang sangat mendasar seperti salah dalam membaca dan menafsirkan Al-Qur’an, salah dalam menukil hadits dan menerangkan derajat hadits. Banyak mubaligh dan penceramah yang masih menyebarkan hadits-hadits dhaif bahkan palsu dalam ceramahnya.

Lebih parah lagi, jika lembaga yang menamakan Islam itu adalah lembaga dakwah yang menyimpang, baik dari aspek aqidah, ibadah, fikrah maupun manhaj. Maka sejatinya, lembaga semacam ini, bukan menjadi lembaga dakwah Islam, tetapi obyek dakwah dan irsyaadul mujtama .

Kedua, tanasub lissaami’ (materi dakwah yang disampaikan harus sesuai dengan pendengar atau obyek dakwah). Oleh karenannya dalam berdakwah di tengah masyarakat yang kompleks harus memperhatikan Fiqih Dakwah dan Fiqih Waqi. Berdakwah dikalangan mahasiswa dan pelajar berbeda dengan berdakwah di kalangan karyawan dan profesional, berdakwah di tengah masyarakat tradisional berbeda dengan berdakwah di masyarakat modern.

Ketiga, al-usluub al-jayyid (metodologi yang menarik). Di era modern ini sangat memperhatikan kemasan, retorika, keindahan dan penampilan, sehingga bagi para aktivis dakwah harus memperhatikan aspek ini agar dakwahnya tidak ditinggalkan oleh orang. Dan Islam tidak menolak segala hal yang terkait dengan keindahan dan penampilan yang menarik. Namun demikian Islam tetap sangat menitikberatkan aspek keikhlasan dan nilai. Husnul bidho’ah muqaddamun min husnid di’aayah (barang dagangan yang baik lebih diutamakan dari promosi yang menarik).

4. Tahriirul wathan dengan membersihkannya dari setiap kekuasaan asing-tidak islami- baik politik, ekonomi maupun moral.

Inilah problem dunia Islam sekarang, kekuasaan asing begitu sangat dominan. Di Indonesia misalnya, kekuasaan multinasional menjarah dan mengambil kekayaan negeri kita dengan dalih telah melakukan kesepakatan secara legal formal. Sementara pemerintah Indonesia begitu sangat lemah di mata asing, mereka tidak memiliki dirinya sendiri dan tidak memiliki harga diri, padahal secara mayoritas masyarakat telah mengamanahkan kepemimpinan kepada mereka.

Melihat realitas dominasi asing di negeri yang sangat besar dan kaya raya ini maka bangsa Indonesia harus berjuang kembali untuk meraih harga dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan memiliki kehormatan dimata asing.

5. Ishlaahul hukumah sehingga benar-benar sesuai dengan nilai Islam, dengan demikian pemerintah akan menjalankan fungsinya sebagai pelayan umat dan bekerja untuk kemaslahatannya. Dan pemerintah Islam yaitu dimana anggotanya muslim menjalankan kewajiban Islam tidak terbuka dalam bermaksiat dan menjalankan hukum Islam dan ajarannya.

Harakah Islam sekarang sudah masuk pada tahapan musyarakah (partisipasi) dalam pemerintahan. Musyarakah ini dilakukan harus dalam konteks ishlahuul hukumah dan berpartisipasi dalam kebaikan dan ketakwaan bukan ikut-ikutan mengambil kesempatan rusaknya pemerintah. Terutama dalam hal pengelolaan harta umat, maka harokah Islam dan seluruh aktivisnya harus amanah dan transparan.

6. I’aadah al-kiyaan ad-dauli lil ummah al-islamiyah dengan memerdekakan tanah air, mengembalikan kejayaan, mendekatkan budaya dan menyatukan kalimatnya. Semua itu dilakukan sehingga dapat mengembalikan sistem khilafah yang hilang dan kesatuan yang diharapkan.

Khilafah Islam harus menjadi cita-cita bersama umat Islam dan semuanya harus bersatu dalam mewujudkannya. Maka disinilah bertemu antara iradah rabbaniyah dan ikhtiyar basyariyah. Namun cita-cita khilafah Islam tidak berhenti hanya pada tataran slogan dan retorika, tetapi khilafah Islam adalah sasaran akhir dari seluruh tahapan perjuangan yang dilakukan harakah Islam.

7. Ustadziyaatul ‘aalam dengan menyebarkan dakwah Islam keseluruh penjuru dunia, “Supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (Al-Anfaal: 39). “Dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya.” (At-Taubah: 32)

Dan akhir dari seluruh masyruu’ islami adalah bahwa harokah Islam menjadi guru dunia. Manusia tunduk dan patuh pada Islam, baik sukarela maupun terpaksa. “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maa-idah: 3).” Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.” (An-Nashr: 1-3)

Al-Hadist

”Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki (lain) dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita (lain). Janganlah seorang laki-laki berada dalam satu selimut dengan laki-laki lain dan janganlah seorang wanita berada dalam satu selimut dengan wanita lain.” (HR. Al Baihaqi)

KISAH PERTANYAAN NABI ADAM DAN IBLIS KEPADA ALLAH S.W.T

Dikisahkan dalam sebuah kitab bahawa Nabi Adam A.S. telah bertanya kepada Allah S.W.T., "Ya Allah, Engkau benar-benar telah menguasakannya atas aku, oleh itu tidak mungkin aku dapat menolaknya melainkan dengan pertolongan Engkau."

Lalu Allah S.W.T. berfirman yang maksudnya, "Tidak akan dilahirkan seorang anak bagimu, melainkan aku serahkan anak itu kepada malaikat yang selalu menjaganya."

Kemudian Nabi Adam A.S. pun berkata lagi, "Ya Allah, tambahkanlah lagi untukku."

Makaka Allah berfirman yang bermaksud, "Setiap kebaikan akan dapat sepuluh kali ganda."

Nabi Adam berkata lagi, "Ya Allah tambahkanlah lagi untukku."

Allah berfirman yang bermaksud, "Tidak akan aku cabut taubat dari mereka(manusia) selagi nyawa-nyawa mereka masih dalam tubuh mereka."

Nabi Adam berkata lagi, "Ya Allah tambahkanlah lagi untukku."

Lalu Allah berfirman lagi yang bermaksud, "Aku akan mengampuni mereka dan aku tak peduli."

Nabi Adam berkata lagi, "Sekarang cukuplah untukku."

Kemudian iblis pula bertanya kepada Allah S.W.T., "Ya Tuhanku, Engkau jadikan di kalangan anak cucu Adam beberapa utusan dan Engkau turunkan kepada mereka beberapa kitab. Oleh itu, siapakah yang akan menjadi utusan-utusanku?"

Allah menjawab dengan firman-Nya yang bermaksud, "Utusanmu itu ialah tukang-tukang nujum."

Iblis bertanya lagi, "Dan apa pulak yang menjadi kitabku?"

Firman Allah bermaksud, "Kitabmu ialah tahi lalat buatan."

Bertanya Iblis lagi, "Ya Tuhanku, apakah yang menjadi hadisku?"

Firman Allah yang bermaksud, "Hadismu ialah semua kata-kata dusta dan palsu."

Iblis bertanya lagi, Ya Tuhanku, apakah quranku?"

Firman Allah yang bermaksud, "Quranmu ialah nyanyian."

Iblis bertanya lagi, "Siapakah yang menjadi muazzinku?"

Allah berfirman yang bermaksud, "Muazzinmu ialah seruling."

Iblis bertanya lagi, "Dan apakah yang menjadi masjidku?"

Firman Allah yang bermaksud, "Masjidmu ialah pasar."

Bertanya lagi Iblis, "Ya Tuhanku, apakah yang menjadi rumahku?"

Firman Allah yang bermaksud, "Rumahmu ialah bilik air tempat permandian."

Iblis bertanya lagi, "Ya Tuhanku, apakah yang menjadi makananku?"

Firman Allah yang bermaksud, "Makananmu ialah makanan yang tidak disebut nama asmaku."

Iblis bertanya lagi, "Apakah yang menjadi minumanku?"

Allah berfirman yang bermaksud, "Minumanmu ialah sesuatu yang memabukkan."

Dan akhir sekali Iblis bertanya kepada Allah S.W.T., "Ya Tuhanku, apakah yang akan menjadi perangkapku?"

Kemudian Allah berfirman lagi yang bermaksud, "Perangkapmu ialah perempuan."

Dengan terbacanya kisah ini hendaklah kita berusaha supaya menjauhkan diri daripada perangkap-perangkap iblis.

Apabila kita takut kepada seseorang maka hendaklah kita menjauhkan diri daripadanya tetapi sekiranya kita takut kepada Allah, hendaklah kita lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Memupuk Sabar

“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Rabb mu’. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini (pasti) memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az Zumar [39]:10)

Pernahkah kita bertanya kepada diri kita, Bagaimanakah kehidupan ini telah kita lalui? Dimanakah kita? Sedangkan jalan kehidupan itu adalah jalan yang didalamnya hamba Allah Adam as keletihan; Nuh as merasa dikalahkan dan menangis mengadu kepada Rabb nya; Al Khalil Ibrahim as dicampakkan kedalam api tanpa busana sedikitpun; Ismail as ditelentangkan untuk disembelih; Yusuf as dijual dengan harga yang murah dan mendekam dalam penjara untuk waktu yang lama; Ayyub as kehilangan anak-anak yang disayangi dan hartanya serta menderita penyakit sehingga harus menjalaninya sendirian; Daud as menangis melebihi ukuran ketika diuji dengan kesusahan dan kepayahan; Sulaiman as merasa tidak berdaya diatas singgananya kehilangan kekuasaan karena penghianatan; Isa as dalam kecemasan yang luar biasa ketika dikejar oleh tentara Rumawi; Dan Rasulullah saw hidup dalam kefakiran dan berpisah dengan orang-orang yang dicintainya!

Dalam kehidupan ini ujian datang silih berganti sebagai sebuah ketentuan qadha dan qadar yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan untuk hamba-hamba-Nya. Sebuah ujian kasih sayang untuk membuktikan apakah hamba-hamba-Nya itu telah benar keyakinannya terhadap-Nya?

Allah berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam ujian) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS Al Baqarah [2]:214)

Tidak ada perkara yang lebih agung untuk menghadapi segala bentuk ujian itu selain kesabaran. Allah ‘Azza wa Jalla memakai kata-kata ‘Sabran Jamila’ yang berarti sabar yang indah (QS Al Maa’rij [70]:5). Allah menghendaki sabar yang indah karena dalam kesabaran itu tertanam kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan keyakinan bahwa semua ini hanya ujian kasih sayang Allah yang sementara. Roda kehidupan akan terus bergulir dan ketika saat ini kita merasa dibawah, kita hanya menunggu saat untuk berada di atas. Dan ketika kita berada diatas kita yakin hal ini hanya sementara sebelum kita berada di bawah kembali.
Di dalam menjalani kehidupan ada 2 kesabaran yang selalu menyertai seorang hamba:

Yang pertama adalah sabar dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sabar dalam menjalani segala apa yang Allah perintahkan kepadanya dan menjauhi segala larangannya. Sabar dari gangguan orang-orang jahil yang mengajak kepada perbuatan maksiat yang merugikan dan sabar dalam beribadah kepada Allah tanpa pamrih.

Yang kedua adalah sabar atas apa-apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla takdirkan sebagai qadha dan qadar. Begitu banyak manusia yang hidup di dunia ini menginginkan agar hidupnya selalu dapat sesuai dengan kenginan dan harapannya. Tapi mungkinkah hal ini terus dapat terjadi? Ketika kita tidak lagi memiliki kehidupan yang sesuai dengan keinginan dan harapan, kita jadi kecewa, merintih dan marah. Kita menyalahkan diri kita dan semua orang yang ada disekeliling kita. Kita merasakan depresi dan menjauhi semua orang. Cobalah bercermin kepada Sang khalifah Al Faruk Umar Ibn Khatab ra. Ketika dalam 40 hari 40 malam ia merasakan nikmat tanpa ada kesulitan atau kesusahan sedikitpun yang ia rasakan dalam kehidupannya, Umar menyungkur bersujud kepada Allah SWT sambil berkata, “Ya Allah jangan Engkau tinggalkan aku. Jangan Engkau biarkan aku tersesat tanpa ujian Mu.” Demikian juga dengan seorang sahabat Nabi yang terkenal kaya, seorang Abdurrahman bin ‘Auf, salah seorang sahabat Nabi yang dijamin oleh Nabi sendiri bersama dengannya di surga kelak. Setiap kali Abdurrahman bin ‘Auf dihidangkan makanan yang lezat yang melebihi kebiasaan yang ia makan, ia menolaknya dan berkata, “Yang kutakutkan dalam hidup ini adalah Allah ‘Azza wa Jalla mempercepat memberi nikmat kepadaku di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti aku tidak memperoleh apapun lagi karena Allah sudah pernah merasakannya kepadaku!”

Kesabaran akan mendatangkan keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla kepada hamba-Nya. Jika Allah sudah ridha, maka hidayah, kasih sayang, pertolongan, karunia dan ketentraman hidup itu akan menghinggapi sang hamba. Seorang ulama klasik pada zamannya yang bernama Sufyan Ats-Tsauri kedatangan seorang muridnya dan bertanya, “Wahai imam, aku ingin agar Allah ridha kepadaku, apa yang harus aku lakukan?” Sufyan menjawab, “Jika engkau ridha kepada Allah, niscaya Dia akan ridha kepadamu.” Tapi bagaimana caranya?” Tanya sang murid lagi. Sufyan menjelaskan, “Pada saat engkau dibuat senang terhadap mushibah sebagaimana senangnya engkau terhadap nikmat Allah. Sebab keduanya merupakan takdir yang telah ditetapkan Allah atasmu.”

Perjalanan Rasulullah SAW ke Surga Bersama Dua Tamunya

Oleh: Tim dakwatuna.com

Di suatu pagi hari, Rasulullah SAW bercerita kepada para sahabatnya, bahwa semalam beliau didatangi dua orang tamu. Dua tamu itu mengajak Rasulullah untuk pergi ke suatu negeri, dan Rasul menerima ajakan mereka. Akhirnya mereka pun pergi bertiga.

Ketika dalam perjalanan, mereka mendatangi seseorang yang tengah berbaring. Tiba-tiba di dekat kepala orang itu ada orang lain yang berdiri dengan membawa sebongkah batu besar. Orang yang membawa batu besar itu dengan serta merta melemparkan batu tadi ke atas kepala orang yang sedang berbaring, maka remuklah kepalanya dan menggelindinglah batu yang dilempar tadi. Kemudian orang yang melempar batu itu berusaha memungut kembali batu tersebut. Tapi dia tidak bisa meraihnya hingga kepala yang remuk tadi kembali utuh seperti semula. Setelah batu dapat diraihnya, orang itu kembali melemparkan batu tersebut ke orang yang sedang berbaring tadi, begitu seterusnya ia melakukan hal yang serupa seperti semula.

Melihat kejadian itu, Rasulullah bertanya kepada dua orang tamu yang mengajaknya, “Maha Suci Allah, apa ini?”

“Sudahlah, lanjutkan perjalanan!” jawab keduanya.

Maka mereka pun pergi melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan, mereka mendatangi seseorang lagi. Orang tersebut sedang terlentang dan di sebelahnya ada orang lain yang berdiri dengan membawa gergaji dari besi. Tiba-tiba digergajinya salah satu sisi wajah orang yang sedang terlentang itu hingga mulut, tenggorokan, mata, sampai tengkuknya. Kemudian si penggergaji pindah ke sisi yang lain dan melakukan hal yang sama pada sisi muka yang pertama. Orang yang menggergaji ini tidak akan pindah ke sisi wajah lainnya hingga sisi wajah si terlentang tersebut sudah kembali seperti sediakala. Jika dia pindah ke sisi wajah lainnya, dia akan menggergaji wajah si terletang itu seperti semula. Begitu seterusnya dia melakukan hal tersebut berulang-ulang.

Rasulullah pun bertanya, “Subhanallah, apa pula ini?”

Kedua tamunya menjawab, “Sudah, menjauhlah!”

Maka mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Selanjutnya mereka mendatangi sesuatu seperti sebuah tungku api, atasnya sempit sedangkan bagian bawahnya besar, dan menyala-nyala api dari bawahnya. Di dalamnya penuh dengan jeritan dan suara-suara hiruk pikuk. Mereka pun melongoknya, ternyata di dalamnya terdapat para lelaki dan wanita dalam keadaan telanjang. Dan dari bawah ada luapan api yang melalap tubuh mereka. Jika api membumbung tinggi mereka pun naik ke atas, dan jika api meredup mereka kembali ke bawah. Jika api datang melalap, maka mereka pun terpanggang.

Rasulullah kembali bertanya, “Siapa mereka?”

Kedua tamunya menjawab, “Menjauhlah, menjauhlah!”

Akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka mendatangi sebuah sungai, sungai yang merah bagai darah. Ternyata di dalam sungai tadi ada seseorang yang sedang berenang, sedangkan di tepi sungainya telah berdiri seseorang yang telah mengumpulkan bebatuan banyak sekali. Setiap kali orang yang berenang itu hendak berhenti dan ingin keluar dari sungai, maka orang yang ditepi sungai mendatangi orang yang berenang itu dan menjejali mulutnya sampai ia pun berenang kembali. Setiap kali si perenang kembali mau berhenti, orang yang di tepi sungai kembali menjejali mulut si perenang dengan bebatuan hingga dia kembali ke tengah sungai.

Rasulullah pun bertanya, “Apa yang dilakukan orang ini?!”

“Menjauhlah, menjauhlah!” jawab kedua tamunya.

Maka mereka pun melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan kali ini, mereka mendapatkan seseorang yang amat buruk penampilannya, sejelek-jeleknya orang yang pernah kita lihat penampilannya, dan di dekatnya terdapat api. Orang tersebut mengobarkan api itu dan mengelilinginya.

“Apa ini?!” tanya Rasulullah

“Menjauhlah, menjauhlah!” jawab kedua tamunya.

Lalu mereka melanjutkan perjalanan lagi. Dalam perjalanan mereka menemukan sebuah taman yang indah, dipenuhi dengan bunga-bunga musim semi. Di tengah taman itu ada seorang lelaki yang sangat tinggi, hingga Rasulullah hampir tidak bisa melihat kepala orang itu karena tingginya. Di sekeliling orang tinggi itu banyak sekali anak-anak yang tidak pernah Rasul lihat sebegitu banyaknya.

Melihat itu, Rasulullah kembali bertanya, “Apa ini? Dan siapa mereka?”

Kedua tamunya menjawab, “Menjauhlah, menjauhlah!”

Maka mereka pun pergi berlalu. Lalu mereka menyaksikan sebuah pohon yang amat besar, yang tidak pernah Rasul lihat pohon yang lebih besar dari ini. Pohon ini juga indah. Kedua tamu Rasul berkata, “Naiklah ke pohon itu!”

Lalu mereka pun memanjatnya. Rasul dituntun menaiki pohon dan dimasukkannya ke dalam sebuah rumah yang sangat indah yang tak pernah Rasul lihat seumpamanya. Di dalamnya terdapat lelaki tua dan muda. Lalu mereka sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan batu bata dari emas dan perak. Mereka mendatangi pintu gerbang kota itu. Tiba-tiba pintu terbuka dan mereka memasukinya. Mereka disambut oleh beberapa orang, sebagian mereka adalah sebaik-baik bentuk dan rupa yang pernah kita lihat, dan sebagiannya lagi adalah orang yang seburuk-buruk rupa yang pernah kita lihat. Kedua tamu yang bersama Rasulullah berkata kepada orang-orang itu, “Pergilah, dan terjunlah ke sungai itu!”

Ternyata ada sungai terbentang yang airnya sangat putih jernih. Mereka pun segera pergi dan menceburkan dirinya masing-masing ke dalam sungai itu. Kemudian mereka kembali kepada Rasululullah dan dua tamunya. Kejelekan serta keburukan rupa mereka tampak telah sirna, bahkan mereka dalam keadaan sebaik-baik rupa!
Lalu kedua orang tamu Rasulullah berkata, “Ini adalah Surga ‘Adn, dan inilah tempat tinggalmu!”

“Rumah pertama yang kau lihat adalah rumah orang-orang mukmin kebanyakan, adapun rumah ini adalah rumah para syuhada’, sedangkan aku adalah Jibril dan ini Mika’il. Maka angkatlah mukamu (pandanganmu).”

Maka mata Rasulullah langsung menatap ke atas, ternyata sebuah istana bagai awan yang sangat putih. Kedua tamu Rasulullah berkata lagi, “Inilah tempat tinggalmu!”
Rasulullah berkata kepada mereka, “Semoga Allah memberkati kalian.”
Kedua tamu itu lalu hendak meninggalkan Rasulullah. Maka Rasulullah pun segera ingin masuk ke dalamnya, tetapi kedua tamu itu segera berkata, “Tidak sekarang engkau memasukinya!” [1]

“Aku telah melihat banyak keajaiban sejak semalam, apakah yang kulihat itu?” tanya Rasulullah kepada mereka.

Keduanya menjawab, “Kami akan memberitakan kepadamu. Adapun orang yang pertama kau datangi, yang remuk kepalanya ditimpa batu, dia itu adalah orang yang membaca Al Qur’an tetapi ia berpaling darinya, tidur di kala waktu shalat fardhu (melalaikannya). Adapun orang yang digergaji mukanya sehingga mulut, tenggorokan, dan matanya tembus ke tengkuknya, adalah orang yang keluar dari rumahnya dan berdusta dengan sekali-kali dusta yang menyebar ke seluruh penjuru. Adapun orang laki-laki dan perempuan yang berada dalam semacam bangunan tungku, maka mereka adalah para pezina. Adapun orang yang kamu datangi sedang berenang di sungai dan dijejali batu, maka ia adalah pemakan riba. Adapun orang yang sangat buruk penampilannya dan di sampingnya ada api yang ia kobarkan dan ia mengitarinya, itu adalah malaikat penjaga neraka jahannam.

Adapun orang yang tinggi sekali, yang ada di tengah-tengah taman, itu adalah Ibrahim AS. Sedangkan anak-anak di sekelilingnya adalah setiap bayi yang mati dalam keadaan fitrah.”

Lalu di sela-sela penyampaian cerita ini, para sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak orang-orang musyrik?”
Rasulullah menjawab, “Dan anak orang-orang musyrik.”
Lalu Rasulullah SAW melanjutkan ceritanya.

Adapun orang-orang yang sebagian mukanya bagus, dan sebagian yang lain mukanya jelek, mereka itu adalah orang-orang yang mencampuradukan antara amalan shalih dan amalan buruk, maka Allah mengampuni kejelekan mereka. []
Maraji’: Riyadhush Shalihin
_______________
Catatan kaki:
[1] Dalam hadits riwayat Bukhari lainnya, dikisahkan bahwa kedua tamu Rasulullah itu mengatakan kepada Rasulullah SAW, “Kamu masih memiliki sisa umur yang belum kamu jalani, jika kau telah melaluinya maka kau akan masuk rumahmu.” (HR. Bukhari)