Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

20 Oktober 2009

Mengapa Manusia Memilih Kehidupan Fana?

Oleh Mashadi

Bagaimana memaknai kehidupan? Bagaimana manusia harus mensikapi kehidupannya? Kehidupan dalam Islam, bukanlah rentang waktu yang pendek, yang digambarkan usia seseorang, atau usia sebagian umat manusia. Namun, juga bukan rentang waktu yang nyata, yang digambarkan dengan usia umat manusia secara keseluruhan.

Kehidupan menurut pandangan Islam adalah kehidupan di segala masanya, baik itu kehidupan nyata – yakni kehidupan duniawi – dan juga kehidupan akhirat. Masa dalam kehidupan dunia berbanding jauh dengan kehidupan akhirat. Ia bagaikan hanya satu jam di tengah hari. Ruang kehidupan akhirat pun lebih luas dari ruang kehidupan dunia. Ia adalah perpaduan ruang kehidupan dunia – di mana manusia hidup – dengan ruang lainnya.

Luas surga dalam kehidupan akhirat sebanding dengan langit dan bumi dalam kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan neraka dalam kehidupan akhirat mampu menampung seluruh orang kafir dalam seluruh masa.

Tentu, hakikat rentang kehidupan mencakup kehidupan yang sifatnya familiar, yakni kehidupan akhirat, baik itu di surge maupun di neraka. Suasana yang ada dalam kehidupan akhirat tidak akan bisa dirasakan dan disamakan dengan suasana yang ada dalam kehidupan dunia.

Allah Ta’ala telah mendiskripsikan dengan jelas tentang kehidupan akhirat dalam al-Qur’an dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya, hingga tampak jelas hakikatnya bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya. Tapi, banyak manusia yang tidak mau memilih kehidupan yang lebih nyata, dan kekal, tapi manusia lebih memilih kehidupan yang fana, yaitu dunia.

Allah Ta’ala berfirman : “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”. (al-Ankabut :64) Menurut Mujahid mengungkapkan, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan, sesungguhnya akhirat I tulah yang sebenarnya kehidupan adalah kehidupan yang tidak ada kematian didalamnya”. Sedang Ibn Jarir menyatakan, yang dimaksud dengan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal. Tidak ada kesudahannya, tidak interupsi dan tidak ada kematian. Ibn Abu Ubaidah mengemukakan, bahwa yang dimaksud dengan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang tidak ada kematian di dalamnya. Ia adalah kehidupan yang tidak penuh dengan tipu daya, sebagaimana kehidupan duniawi.

Kisah indah digambarkan dalam kehidupan seorang sahabat, yaitu Hasan al-Basri, yang sangat zuhud terhadap dunia. Al-Basri tidak pernah terkena tipu daya dunia. Hidupnya jauh dari perbuatan durhaka, dan senantiasa diliputi ibadah kepada Rabbnya. Ia tinggalkan kehidupan dunia, yang melalaikan, dan hanya tipu daya belaka. Hasan al-Basri, benar-benar seorang, yang senantiasa dirinya terikat dengan akhirat. Jalan hidupnya penuh dengan ketaqwaan.Ia tidak ingin mengotori dengan prenik-prenik kenikmatan yang menipu, dan membuatnya terjatuh dalam murka-Nya.

Ketika Hasan al-Basri sedang sakit, saudara-saudaranya dan teman-temannya yang menjenguk merasa heran. Karen mereka tidak mendapati apa-apa dirumahnya, tidak ada tikar ataupun selimut, kecuali tempat tidur yang tidak ada apa-apanya. Hasan al-Basri rahimahullah adalah seorang ustadz (guru) dalam kewara’an. Dia mencari tingkat yang luhur dan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang mengotorinya. Alangkah indahnya hidup laki-laki yang menahan diri dari selera nafsu dan beraneka ragam kenikmatan dunia.

Sementara, tak sedikit manusia yang binasa lantaran memperturutkan hawa nafsunya. Hasan al-Basri menjauhi hawa nafsu yang menyukai segala Sesutu, nafsu yang cenderung kepada aneka kesenangannya yang dapa merusaknya.

Kewara’an Hasan al-Basri samapi ke tingkat ia tidak mengambil gaji dalam tugasnya dibidang peradilan. Tatkala Addi bin Arthat, seorang pejabat Iraq, memberinya uang sebesar 200 dirham, ia menolaknya. Addi mengira pemberian uang itu dianggap kurang oleh Hasan al-Basri. Karena itu, ia menambahnya. Namun, Hasan al-Basri tetap menolaknya. Al-Basri berujar : “Aku menolaknya bukan karena aku memandang uang itu sedikit. Aku menolaknya karena tidak mau mengambil upah dalam memutuskan hukum”, tegas al-Basri.

Tidak ada lagi di zaman sekarang manusia yang memiliki sikap hidup seperti Hasan al-Basri, yang zuhud terhadap kehidupan dunia. Manusia modern di saat sekarang ini, justru mengejar kehidupan dunia yang fana, dan sebentar berakhir manusia. Tapi, justru manusia mengagungkan dan memuja kehidupan dunia, yang tidak ada artinya apa-apa di akhirat nanti. Wallahu ‘alam.

Mengapa Engkau Mencintai Dunia, dan Menjauhi Akhirat?

oleh Mashadi

Senja menjelang matahari tenggelam. Di langit masih nampak semburat matahari yang akan sirna, karena akan datangnya malam. Jalan-jalan mulai sepi. Orang-orang mulai masuk ke rumah mereka. Diantara mereka ada, yang sedang berjalan menuju ‘baitullah’, tak jauh dari rumah mereka. Tetapi, ada seorang lelaki yang berjalan, terus menelurusi jalan yang berliku-liku, menuju sebuah bukit. Ia melangkah terus menuju sebuah bukit, hingga bayangannya tak nampak lagi.

Sungguh tak ada yang menyangka, bahwa laki-laki yang dengan kesendiriannya itu, dan berjalan menelurusi bukit, yang berbatu dan berbelok, di senja hari itu, tak lain adalah Rasulullah Shallahu alaihi wassalm, yang sore pergi ke kuburan Uhud. Uqbah bin Umair, suatu ketika menuturkan bahwa Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, pergi ke kuburan Uhud. Rasulullah menshalati mereka, sesudah delapan tahun mereka dikuburkan seperti seorang yang mengucapkan kalimat perpisahan kepada orang-orang yang meninggal.

Usai menshalati para pejuang Uhud itu, Rasulullah lalu menyampaikan do’anya, yang lirih dengan penuh kekhusukkan. “Aku adalah pendahulu kalian dan saksi atas kalian. Tempat bertemu kalian adalah telaga, dan aku benar-benar melihat dari tempatku berdiri ini. Aku tidak khawatir kalian akan syirik, akan tetapi aku khawatir kalian akan bersaing memperebutkan dunia”, ungkap Rasulullah.

Kemudian, Uqbah bin Umair menyatakan : “Itu adalah saat terakhir aku melihat dan memandang Rasulullah Shallahu alaihi wassalam”. (HR. Bukhari dan Muslim). Betapa bahagianya orang-orang yang dapat melihat dan memandang serta bertemu dengan kekasihnya Rasulullah Shallahu alaihi wassalam itu. Mereka yang dapat bertemu dengan Rasulullah itu, bagaikan mendapatkan air, ketika terik matahari padang pasir, yang memanggang sekujur tubuh, dan kering-kerontangnya tenggorokkan, tiba-tiba mendapatkan tetesan air. Tetesan air kebahagian dari perjumpaannya dengan Rasulullah. Betapa mereka akan berbahagia kelak, di hari akhirat, yang mendapatkan do’a dan shafaat dari Rasulullah. Seperti mereka pejuang Uhud, yang dido’akan oleh Rasulullah Shallahu alaihi wassalam.

Betapa, ketika itu Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, yang menjadi panutan dan tempat kembali para ummatnya, yang menginginkan arahan dan do’a, justru Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, tidak mengkhawatirkan umatnya terjatuh ke dalam lembah syirik. Tetapi, yang dikhawatirkan Rasulullah adalah kalau-kalau umatnya banyak yang jatuh ke dalam pelukan dunia, dan bersaing memperebutkan dunia. Dunia telah menjadikan manusia yang hina. Dunia telah menjadikan manusia tidak berharga. Dunia telah menjadikan manusia sebagai seekor binatang, dan lebih hina dibandingkan dengan binatang. Karena itu, Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, mengkhawatirkan umatnya, jika nantinya bersaing memperebutkan sekerat kehidupan dunia.

Dalam riwayat yang lain disebutkan : “Akan tetapi aku khawatir kalian akan besaing memperebutkan dunia. Kalian akan berbunuhan dan akhirnya kalian binasa seperti orang-orang sebelulm kalian”, ujar Baginda Rasulullah Shalllahu alaihi wassalam. Uqbah bin Umair meriwayatkan ketika, beliau melihat terakhir Rasulullah, dan berkata : “Aku adalah pendahulu kalian. Aku saksi kalian. Demi Allah, aku sekarang melihat telagaku. Aku diberi kunci gudang-gudang bumi atau kunci-kunci bumi. Dan demi Allah, aku tidak khawatir kalian akan syirik setelah aku mati, tetapi aku khawatir kalian akan bersaing memperebutkan dunia”.

Sesungguhnya, dengan kalimat itu Rasulullah ingin memperingatkan kita untuk tidak besaing dalam mencintai dunia dengan cara yang menjadikan kita lalai untuk mengingat Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya.

“ Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang bebuat demikian, maka emreka itulah orang-orang yagn merugi”. (al-Munafiqun : 9).

Selanjutnya, Abu Hurairah menuturkan bahwa ia mendengar Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, bersabda : “ Ketahuilah, dunia itu terlaknat dan terlaknat pula seluruh yang ada di dunia, kecuali dzikir kepada Allah dan apa yang mengikutinya, serta seorang ulama atau pelajar”. (HR.Tirmidzi)
Maka, jika kita ingin memahami dunia dan hakikat dunia, cukuplah kita membaca firman Allah Ta’ala :

“Sesungguhnya perumpaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karna air itu tanam-tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datangnya kepada azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir”. (Surah Yunus : 24).

Semoga manusia mau menyadari bahwa apa yang ada di dunia ini, semua fana, dan akan lenyap, tanpa bersisa. Kejarlah dunia, hingga nafasmu habis, dan tenagamu tak bersisa, niscaya manusia tak pernah mendapatkan kepuasan dengannya. Manusia yang lalai dengan dunia, maka diakhirat kelak, tentu akan menjadi hina. Tak mampu lagi berdiri tegak dihadapan Allah Azza Wa Jalla. Dan, segeralah manusia memohon ampun dan tobat serta kembalilah kepada mengingat Allah, yang maha kekal, selama-lamanya, dan yang maha hidup, tak pernah tidur, serta senantiasa akan menjaga hamba-hambanya yang selalu mengingat-Nya.

Mengapa umurmu, engkau habiskan hanya berbuat sia-sia yang tak berharga, dan tak bernilai, sehingga engkau meninggalkan kemuliaan, yang sudah dijanjikan oleh oleh Allah Ta’ala. Kembalilah. Dan, tinggalkan dunia ini, dan gapailah kemuliaan di akhirat, yang pasti akan datang. Wallahu’alam.

DOSA SYIRIK DAN BAHAYANYA

Syirik, Bahaya Dan Fenomenanya

Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Rabbmu". Mereka menjawab, "Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan,"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan Rabb)". Atau agar kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah menyekutukan Ilah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang yang sesat dahulu". (QS. 7:172-173)

Ayat di atas menjelaskan bahwa kebanyakan orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan disebabkan oleh dua hal dan secara otomatis dia telah melanggar perjanjian, ikrar dan persaksiannya sendiri terhadap keesaan Allah, dua hal tersebut adalah:

1. Jahil dan lalai terhadap tauhid dan syirik
2. Taqlid buta pada adat istiadat dan kebiasaan nenek moyang.

Permasalahan syirik bukanlah perkara yang remeh, sebab kelurusan seseorang dalam bertauhid dan beraqidah menjadi jaminan bagi keselamatannya di dunia dan akhirat. Apabila tauhid seseorang melenceng dari standar Al-Qur'an dan As-sunnah, maka pasti dia terjerumus pada kesyirikan.

Karena itu kita harus mengerti dan paham apa sebenarnya syirik itu, agar kita bisa terhindar dari bahaya dan malapetakanya di dunia dan di akhirat. Para ulama mengatakan, "Aku mengenali kejelekan bukan untuk melakukannya, tetapi agar terhindar darinya. Barangsiapa yang tidak bisa membedakan antara kebaikan dengan kejelekan pasti terjerumus pada kejelekan itu." Untuk itu, marilah kita mengenali apa syirik itu sebenarnya.

Syirik adalah menyejajarkan/menyamakan makhluk dengan Al-Khaliq (Allah swt) dalam perkara-perkara yang merupakan hak khusus (istimewa) Allah swt.
Hak istimewa Allah Subhannahu wa Ta'ala banyak sekali, seperti: Disembah, mencipta, mengatur, memberikan manfaat dan mendatangkan madharat, menentukan baik dan buruk, membuat hukum dan undang-undang (syari'at) dan lain-lainnya.

Secara umum jenis syirik itu ada dua: Syirik Akbar (besar) dan Syirik Ashghar (kecil). Perbedaan antara syirik akbar dan syirik asghar adalah:

Syirik akbar;
Syirik akbar menghancurleburkan seluruh amal ibadah pelakunya.
Apabila dia meninggal dunia dalam keadaan berbuat syirik akbar maka tidak mendapat ampunan Allah Subhannahu wa Ta'ala.
Pelakunya tergolong murtad dari Islam.
Di akhirat kelak pelakunya akan kekal dalam neraka selama-lamanya.

Syirik Asghar (kecil);
Dosa syirik kecil tidak merusak seluruh amal ibadah.
Pelakunya diampuni apabila Allah Subhannahu wa Ta'ala menghendakinya.
Pelakunya tidak tergolong murtad dari Islam.
Di akhirat kelak pelakunya tidak akan kekal dalam neraka selama-lamanya.

Beberapa Fenomena Syirik

A. Ngalap (mencari) berkah di kuburan wali, kiyai dan selainnya.

Sudah menjadi hal yang umum dan membudaya di masyarakat, dan bahkan dianggap ibadah yang sangat afdhal bahwa pada hari-hari/bulan-bulan tertentu, misalnya Maulud (Rabiul awal), menjelang Ramadhan, menjelang lebaran (Syawwal) dan lain sebagainya, banyak orang yang mendatangi kuburan kuburan kyai, orang-orang yang dianggap wali, atau kuburan orang shalih. Mereka datang dari tempat yang cukup jauh dengan mencurahkan tenaga, waktu, pikiran, dan harta. Padahal Rasulullah telah bersabda,
“Janganlah kalian mengadakan perjalanan jauh (untuk beribadah, berziarah, mencari berkah) kecuali hanya ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy), dan Masjid al-Aqsha.” (Muttafaqun 'Alaih)
Dengan melakukan ritual ziarah ke kuburan-kuburan wali/kiyai dari tempat yang jauh, maka itu sudah merupakan suatu pelanggaran terhadap konsekwensi hadits diatas.

Kalau ternyata tujuan dari ziarah kubur itu menyimpang dari tuntunan syari'at Islam yang suci ini, seperti: Mencari berkah, meminta-minta kepada penghuni kuburan itu, atau mencari syafa'at, maka perbuatan itu jelas merupakan syirik akbar. Apabila pelakunya tidak bertaubat hingga datang kematiannya, maka Allah Subhannahu wa Ta'ala tidak mengampuninya dan dia kekal dalam neraka, semoga kita terhindar dari hal itu.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. 4:48)

B. Mencari kesaktian lewat amalan, dzikir atau ritual tertentu.

Fenomena ritual seperti ini sudah berurat dan berakar, bahkan menjadi trend dalam masyarakat kita. Dan yang terbelit dan terperangkap dalam lingkaran syetan ini mulai dari orang awam sampai para pejabat, rakyat jelata sampai orang berpangkat. Bahkan kalangan "terpelajar" yang mengaku "intelektual"pun menggandrungi klenik-klenik seperti ini. Mereka menyebutnya dengan "membekali diri dengan ngelmu (ilmu), kekebalan, kesaktian".
Untuk mengelabuhi orang-orang awam terkadang “orang pinter” itu menyandangkan titel mentereng seperti: KH (Kyai Haji), Prof, DR, padahal semua itu mereka lakukan untuk melanggengkan bisnis mereka sebagai agen-agen dan kaki tangan syetan dan jin.

Untuk meraih kesaktian ini, ada yang dengan cara-cara klasik kebatinan, dengan istilah black magic (ilmu hitam) maupun white magic (ilmu putih), dan ada pula dengan cara-cara ritual "dzikir dan amalan-amalan wirid tertentu", dan cara yang terakhir ini lebih banyak mengelabui kaum muslimin, karena seakan-akan caranya Islami dan tidak mengandung kesyirikan.

Dan perlu diketahui bahwa"dzikir dan amalan-amalan wirid tertentu" yang tidak ada syari'atnya dalam Islam, merupakan rumus dan kode etik untuk berhubungnan dengan alam supranatural (alam jin), hal seperti ini merupakan perangkap syetan yang menjerumuskan orang pada perbuatan syirik. Untuk mengetahui bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan syirik adalah sebagai berikut:

Pertama, bahwa "dzikir dan amalan-amalan wirid tertentu" tersebut bukanlah syari'at Islam, karena tidak memakai standar Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah S.A.W, dan ini termasuk dalam kategori bid'ah, yang mana syetan lebih menyukai bid'ah daripada perbuatan maksiat sekalipun.

Ke dua, apabila tujuan seseorang melakukan "dzikir dan amalan-amalan wirid tertentu" tersebut untuk memperoleh kesaktian, kekebalan, dan hal-hal yang luar biasa, maka sudah pasti itu bukan karena Allah Subhannahu wa Ta'ala, seperti membaca Al-fatihah 1000 X, Al-ikhlas 1000 X dan lain sebagainya dengan tujuan agar kebal terhadap senjata tajam, peluru dan tahan bacok. Atau membaca salah satu shalawat bikinan (baca;bid'ah) dengan iming-iming kesaktian tertentu seperti bisa menghilang dari pandangan orang, bisa makan besi, kaca, beling dan lain sebagainya. Itu semua bukanlah karomah tetapi merupakan hakikat syirik itu sendiri, karena telah memalingkan tujuan suatu ibadah kepada selain Allah Subhannahu wa Ta'ala.

C. Meminta bantuan arwah rasul, wali, atau tokoh tertentu agar terhindar dari marabahaya.

Ritual-ritual seperti ini dapat kita saksikan pada acara-acara malam 1 Syuro(Muharram). Diantara mereka ada yang mengadakan acara ritual di pantai laut selatan, mereka ramai-ramai melepaskan bermacam-macam sesajen seperti hewan yang masih hidup, aneka makanan, bunga-bungaan dan kemenyan sambil memanggil-manggil arwah Nabi Muhammad, Syekh Abdul Qodir Jailani dan memanggil Nyi Roro Kidul. Tujuan mereka melakukan ini agar Nyi Roro Kidul yang "katanya" menjadi penguasa di pantai laut selatan itu tidak minta korban pada tahun ini.

D. Membuat sesajen untuk menolak roh jahat.

Kegiatan ritual syirik ini bisa kita temui ketika ada pembangunan jembatan, gedung atau rumah. Pada acara peletakan batu pertama, biasanya diadakan pemotongan hewan kemudian darahnya disiramkan atau dioleskan, dan kepala hewan itu ditanam di situ. Tujuannya agar bangunan itu kokoh, kuat, lancar dalam pembangunannya serta tidak meminta korban, terhindar dari bahaya, serta agar makhluk halus yang ada di situ tidak mengganggu. Ada juga yang meletakkan sesajen di atas tiang utama bangunan, agar terhindar dari gangguan makhluk halus yang berada di daerah itu.

Demikian pula, ketika orang merasa takut melewati pohon besar, kuburan, hutan atau lembah yang dianggap angker. Lalu dia mengirimkan berbagai macam bentuk sesajen. Kalau lewat di daerah itu harus minta izin terlebih dahulu, seperti mengucapkan "Mbah permisi saya mau lewat" sambil menundukkan badan pertanda tunduk, atau dengan membunyikan klakson kendaraan sambil menjalankannya dengan pelan-pelan, dan lain sebagainya.

E. Memakai Jimat-Jimat.

Ketika batu akik diyakini memiliki daya magic karena telah "diisi" oleh dukun atau orang pintar, maka menjadikan akik itu sebagai jimat pembawa keberuntungan berarti telah menjadikannya sebagai tuhan selain Allah.

Ketika bambu kuning atau potongan tulisan arab yang maknanya tidak jelas diletakkan di atas pintu rumah, agar"si kolor ijo"tidak bisa masuk rumah, maka berarti telah mempertuhankan jimat itu, dan ini adalah bantuk kesyirikan yang sangat nyata terhadap Allah SWT.

Demikian pula apabila al-Qur'an Stambul (Al-Qur'an berukuran sangat kecil yang tulisannya tidak bisa dibaca kecuali dengan mikroskop) dijadikan jimat untuk menolak marabahaya, maka pelakunyapun sudah terjerumus pada lingkaran syetan yaitu syirik.
Rasulullah SAW bersabda, artinya,
"Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu (sebagai jimat), niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada jimat itu". (HR.Imam Ahmad dan at-Tirmizi)

F. Ramal-Ramalan

Yaitu segala bentuk ramalan, mulai dari ramalan keadaan Indonesia sampai keadaan pribadi seseorang untuk rentang waktu sepekan, sebulan atau setahun ke depan, baik mengenai ekonominya, politiknya dan lain sebagainya. Ini semua adalah klenik-klenik yang menghancurkan negara besar ini yang katanya mayoritas muslim terbesar di dunia. Klenik ini juga yang menjadi faktor utama datangnya musibah-musibah yang silih berganti dan tidak akan pernah hengkang dari tanah air kita ini selama kemaksiatan syirik ini dan dosa-dosa besar lainnya masih gentayangan menghancurkan sendi-sendi kehidupan beragama kita. Wallahul Musta’an, hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Mudah-mudahan tulisan singkat ini menjadi bahan renungan bagi kita semua. (Abu Abdillah Dzahabi)

Jangan Halangi Aku Membela Rasulullah

Hari itu Nasibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nasibah menebak, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud.

Dengan bergegas, Nasibah meninggalkan apa yang tengah dikerjakannya dan masuk ke kamar. Suaminya yang tengah tertidur dengan halus dan lembut dibangunkannya. “Suamiku tersayang,” Nasibah berkata, “aku mendengar suara aneh menuju Uhud. Barang kali orang-orang kafir telah menyerang.”

Said yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Ia menyesal mengapa bukan ia yang mendengar suara itu. Malah istrinya. Segera saja ia bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nasibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.

“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”

Said memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah ada keraguan baginya untuk pergi ke medan perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian Said saja.

Di rumah, Nasibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang nampaknya sangat gugup.

“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid…”

Nasibah tertunduk sebentar, “Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”

Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu, Nasibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar, kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid. Aku sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?”

Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.

“Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi.”

Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”

Putra Nasibah yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di depan Rasulullah, ia memperkenalkan diri. “Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.”

Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam berangkat dari perkemahan mereka meunuju ke rumah Nasibah. Setibanya di sana, perempuan yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan kiranya?” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, “apakah anakku gugur?”

Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”

“Inna lillah….” Nasibah bergumam kecil. Ia menangis.

“Kau berduka, ya Ummu Amar?”

Nasibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatan? Saad masih kanak-kanak.”

Mendegar itu, Saad yang tengah berada tepat di samping ibunya, menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”

Nasibah terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak takut, nak?”

Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika Nasibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad hilang bersama utusan itu.

Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”

Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nasibah. Mendengar berita kematian itu, Nasibah meremang bulu kuduknya. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”

Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”

Nasibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”

Nasibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas saja menghadap Rasulullah dengan kuda yang ada. Tiba di sana, Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nasibah. Setelah itu, Rasulullah pun berkata dengan senyum. “Nasibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”

Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nasibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terciprat darah di rambutnya. Ia menegok. Kepala seorang tentara Islam menggelinding terbabat senjata orang kafir.

Timbul kemarahan Nasibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh, Nasibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga pada suatu waktu seorang kafir mengendap dari belakang, dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda.

Peperangan terus saja berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga Nasibah teronggok sendirian. Tiba-tiba Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat seonggok tubuh bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Istri Said-kah engkau?”

Nasibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”

“Beliau tidak kurang suatu apapun…”

“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”

“Engkau masih luka parah, Nasibah….”

“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”

Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nasibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.

Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nasibah, wanita yang perkasa.”