Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

24 November 2011

Potensi Insan Bernama Manusia

dakwatuna.com - “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)

Begitu luar biasanya seorang manusia yang diberikan bentuk dan potensi yang sebaik-baiknya. Lebih baik ketimbang makhluk Allah lainnya. Sudah sepatutnyalah bagi kita insan bernama manusia mensyukuri atas apa yang dikaruniakan Allah kepada kita. Jangan sekali-kali kita dustai dan kufuri. Karena azab Allah pedih bagi orang-orang yang tak mau bersyukur.

Generally, manusia itu memiliki 3 potensi dasar dalam dirinya dan tiap-tiap manusia memiliki akan hal itu. Dan potensi ini merupakan potensi penting bagi keberlangsungan hidupnya.

Pertama, potensi fisik. Kita akan menjadi manusia yang memiliki karya yang produktif dan mobilitas yang tinggi manakala kita mampu memanagemen potensi fisik kita dengan baik dan teratur.

Rasulullah Saw bersabda
“Al mu’minuun Qowiyyun khoirun wa ahabbu illah minal mu’minin dho’ifa. Mukmin yang kuat lebih dicintai ketimbang mukmin yang lemah.”

Cobalah kita tengok qudwah kita nabi Muhammad yang hingga usia 63 tahun masih memiliki postur badan yang atletis dan bugar. Dan menurut riwayat bahwa Beliau memulai peperangan ketika usianya 53 Tahun. Tahukah sahabat? Ternyata Rasulullah memakai baju besi sebanyak 2 lapis dan tentu 1 lapis saja sudah berat. Dan perjalanan menuju medan perang pun juga tak kalah jauhnya berkilo-kilo meter. Sungguh luar biasa, itu mengindikasikan bahwa fisik Beliau sangat-sangat prima. Bagaimana dengan kita?

Inti yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah bahwa tidak selamanya fisik yang baik membawa seseorang kepada kemuliaan di hadapan Allah selayaknya Rasulullah Saw. Justru yang sering terjadi adalah banyak manusia yang memiliki badan tegap, berotot, kekar, macho, seksi, langsing, gitar Spanyol, putih dan lain-lain menjadikannya hina akan keindahan fisiknya tersebut. Adakalanya seorang wanita yang berpenampilan seolah-olah sempurna tidaklah juga identik dengan kemuliaannya. Bahkan menjadikannya hina karena kegemarannya yang sering mempertontonkan tubuhnya ke khalayak banyak tanpa rasa malu dan takut sedikitpun. Seperti bintang iklan sampo, sabun mandi, cream pelembab dan penghalus kulit dan artis-artis bermental mesum. Baginya ini adalah bentuk pengeksistensian diri. Wajar saja ketika UU Pornografi dan Pornoaksi di sahkan oleh DPR beberapa tahun yang lalu, dia adalah orang yang pertama kali kontra akan UU tersebut. Astaghfirullah.

Dan tak sedikit pula yang stress dengan fisiknya. Bagaimana tidak. Ia harus menjaga keseimbangan kecantikan tubuhnya dan harus menjalankan program-program diet sehingga selera makan terbatasi, hidup terasa sempit, dan terkesan pemaksaan dan penzhaliman diri.

Tapi, intinya adalah potensi fisik haruslah ditempatkan sesuai dengan kepentingan syar’i bukan untuk duniawi. Dan potensi fisik ternyata tidak identik dengan kemuliaan seseorang.

Kedua, Potensi akal. Akal adalah potensi yang begitu istimewa. Dan akal ini hanya terdapat pada seorang makhluk saja, yaitu insan bernama manusia. Itulah yang membedakan antara manusia dengan binatang, tumbuhan, setan, jin, dan malaikat sekalipun. Akal yang diberikan oleh Allah untuk kita seharusnya dimanfaatkan dengan baik dengan memikirkan ayat-ayat kauliyah (tersurat) dan ayat-ayat kauniyah (tersirat). Sehingga tercipta suatu letupan-letupan karya karenanya. Tapi realita yang terjadi tak seindah tujuan awal. Banyak dari manusia menggunakan akalnya untuk mencuri, membunuh, bersilat lidah di pengadilan, memikirkan cara-cara untuk menyingkirkan seorang yang dianggap musuhnya. Dalam benaknya hanya kejahatan, kedengkian, dan keirian terus-menerus. Sehingga menyebabkan orang seperti ini dikatakan sebagai orang yang kerdil. Sungguh apabila akal digunakan dengan baik pada tiap-tiap manusia rasa sakinah akan memayungi bumi dari kerusakannya.

Sebenarnya banyak orang pintar dan cerdas di dunia ini, jangankan di dunia, di Indonesia saja bertaburan orang-orang pintar. Mereka lulus dengan predikat cum laude juga banyak. Pemenang-pemenang olimpiade sains dan matematika bertaburan di Indonesia. Tapi kenapa negeri justru terpuruk akan moralnya. Korupsi merajalela di berbagai sektor. Korupsi yang dilakukan pun tidak tanggung-tanggung berkisar ratusan juta hingga triliunan rupiah. Kalau kita bisa telaah tidak mungkinlah orang bodoh melakukan itu. Kalau menurut saya orang bodoh palingan bermain di kisaran jutaan rupiah saja. Pastilah ia orang yang pintar mencari alasan atau pintar melobi pihak ketiga dan pintar mengkalkulasi kecurangan, dan lain sebagainya. Dan pula seorang anak yang pintar justru berani melawan orang tuanya yang secara pendidikan jauh di bawahnya. Ia berani menipu orang tuanya dengan alasan untuk duit kursus namun digunakan untuk hura-hura bersama teman-temannya. Na’udzubillah.

Sehingga semakin jelaslah akal yang pintar dan cerdas tidak identik dengan kemuliaan seseorang.

Dari kedua potensi yang disebutkan di atas yaitu potensi fisik dan potensi akal tidak identik dengan kemuliaan seseorang. Tak berlaku hokum, semakin bagus fisik seseorang dan semakin pintar seseorang maka mendapatkan kemuliaan. Dan sebaliknya. Tak akan berlaku hokum seperti itu. Walaupun di dunia ia merasa angkuh, merasa paling besar, merasa hebat, merasa kuat, tapi tidak nanti ketika di akhirat. Dan perlu diingat juga bahwa fisik itu lama-kelamaan akan kendor, keriput, tak tampak bagus lagi dilihat. Begitu juga akal yang pintar akan hilang dengan semakin menuanya seseorang, kualitas berpikirnya lama-kelamaan akan terkikis. Seperti itulah. Janganlah bersandar kepada kedua potensi tersebut kecuali digunakan dengan syar’i sesuai tuntunan al-Qur’an dan as Sunnah.

Terus… potensi yang terakhir adalah potensi yang semua manusia memilikinya dan mampu untuk diarahkan. Tergantung dari manusia itu sendiri. Apabila ia baik maka seluruh anggota tubuhnya dan amalnya akan baik dan apabila ia buruk maka keburukan pula yang akan terjadi. Potensi tersebut adalah qalbu (hati).

Aa Gym mengatakan bahwa ada 3 kategori hati :

Qalbu Maridh (Hati yang sakit)
Ciri-ciri orang memiliki hati yang sakit, tak ubahnya seperti gelam kusam yang berisikan air keruh. Jangankan sebutir debu yang mencemarinya, paku payung, jarum, silet atau patahan cutter sekalipun yang masuk, tidak akan terlihat.
Orang yang menderita qalbun maridh akan sulit menilai secara jujur apa pun yang Nampak di depannya. Ia terkena virus megaloman.

Intinya adalah dalam qalbun maridh ini terdapat dua sisi yang beriringan. Sisi kecintaan kepada Allah dan keimanan dan juga sisi rasa cinta terhadap hawa nafsu, mementingkan kehidupan dunia, ketamakan terhadap kesenangan.

Qalbu Mayyit (Hati yang mati)
Hati yang mati tak ubahnya seperti jasad yang mati. Kendati dicubit, dipukul, digorok, di tusuk, tidak akan terasa karena sudah mati. Ciri utama hati mati ini adalah penolakan kebenaran dan ayat-ayat Allah serta berlaku zhalim terhadap diri sendiri dan lingkungan di sekitarnya.

“Dan siapakah yang lebih zhalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia berpaling dari padanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 57)

“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah: 7)

Oleh karena itu orang yang memiliki hati seperti ini tidak mengenal Tuhan dan hakikat dari ma’rifatullah. Karena hawa nafsu sudah menjadi masinisnya, ia hanya duduk di gerbong VIP yang mewah tanpa mempedulikan dibawa ke mana oleh si masinis tersebut.

Qalbu Shahih (Hati yang sehat)
Hati yang sehat sama halnya dengan tubuh dan akal yang sehat. Ia akan berfungsi dengan optimal tanpa ada gangguan yang berarti. Di antara cirri orang yang hatinya sehat adalah hidupnya diselimuti mahabbah dan tawakal kepada Allah. Dengan begitu, ia tidak akan berlebihan dalam mencintai makhluk. Ia bisa menempatkan cinta pada porsinya. Dan ia bersikap adil terhadap cintanya. Dan begitu pula ketika ia membenci sesuatu ia berlandaskan pada kebencian sesuatu tersebut karena Allah.

Hati yang semakin bersih hidup akan selalu diselimuti rasa syukur terhadap semua kondisi. Walaupun bertubi-tubi bencana, musibah, dan rintangan menghadang dirinya, ia tetap tsabat (teguh) akan prinsipnya dijalan Allah. Tak sedikitpun keinginan untuk jauh dari jalan tersebut.

Teringat dengan nasyid “Jagalah Hati” yang populer beberapa tahun yang lalu.
Bila hati kian bersih, pikiran pun akan jernih, semangat hidup nan gigih, prestasi mudah diraih, tapi bila hati busuk, pikiran jahat merasuk, akhlaq kian terpuruk, jadi makhluk terkutuk. Bila hati kian lapang, hidup susah tetap senang, walau kesulitan menghadang, dihadapi dengan tenang, tapi bila hati sempit, segalanya jadi rumit, seakan hidup terimpit, lahir batin terasa sakit.

Sungguh luar biasa ketika hati bersih kan! Semuanya jadi enak dan lapang, sakinah terasa dekat, rahmah berlimpah didapat, rezeki insya Allah datang tanpa terduga-duga.
Ingat, potensi dalam diri ini adalah amanah yang harus dijaga dan dikembangbiakkan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Pintalah kepada Allah. Dialah yang telah memberikan potensi itu. Pintalah agar potensi-potensi itu dapat dioptimalkan dengan semaksimal mungkin agar tak menyesal di dunia dan tentu saja di akhirat.

Wallahu’alam.

Mengapa Doa-Doaku Tidak Terkabulkan?

dakwatuna.com - Doa peneduh jiwa yang sedang terbalut oleh kalut, sedih dan gundah. Ia memberi ruang tersendiri bagi mereka yang ingin mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Akan tetapi, kadang kita mengira sesuatu yang dipanjatkan itu belum juga terpenuhi, sehingga dengan sendirinya hati pun bertanya-tanya dan berkata:

“Kenapa yah, doa-doaku tidak terkabulkan? Apa yang salah dalam diri ini? Bukankah aku telah menunjukkan kehambaanku kepada-Nya dengan doa-doa itu?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini telah dijawab dengan jelas kedua ayat berikut ini:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٥٥﴾ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf [7]: 55-56)
Hemat penulis, doa yang terkabulkan adalah doa yang mematuhi adab doa yang dijelaskan ayat di atas. Adab-adab tersebut dapat diuraikan sebagaimana berikut:

Adab pertama: Berdoa dengan penuh rendah diri dan suara lemah lembut

Para pakar tafsir berbeda dalam memaknai kata (التَّضّرُّعُ). Imam Ibn Jarir at-Thabari cenderung menafsirkannya dengan makna rendah diri, merasa hina, dan berupaya menghadirkan kedamaian hati di setiap doa.[[1]]

Penalaran ini disepakati kebanyakan penafsir yang datang setelahnya, seperti: al-Allâma Abu Hayyân, dan al-Hâfidzh Ibn Katsîr.[[2]]

Di lain pihak, al-Qâdhi Ibn Atiyyah menafsirkannya dengan doa yang terdengar jelas. Beliau berkata:

“Kata at-Tadarru’ (التَّضّرُّعُ) menghendaki kejelasan suara, karena kata itu sendiri tidak dipergunakan kecuali pada permintaan yang disertai dengan pelbagai isyarat dan gerakan tubuh.” [[3]]

Pemaknaan ini dilegitimasi al-Allâma Muhammad Thâhir bin Asyûr dalam pernyataannya berikut ini:

“(التَّضَرُّعُ) artinya: menunjukkan kerendahan diri dengan perihal tertentu. Olehnya itu (التَّضَرُّعُ) adalah doa yang disertai dengan suara yang jelas. Inilah penafsiran yang kami pilih karena menunjukkan keserasian makna (antonim) antara kata tersebut dengan kata (الحَفِيَّة), yang artinya: berdoa dengan suara yang lemah lembut. Olehnya itu, kata penghubung (الواو) huruf (Waw) yang sering kali diartikan dengan makna (dan), di sini ia berfungsi seperti (أَوْ) huruf (Aw), yang berarti atau. Artinya: Anda boleh memanjatkan doa dengan suara yang terdengar jelas atau dengan suara yang lemah lembut (tidak ada yang mendengarkannya kecuali Anda sendiri).”[[4]]

Hemat penulis, kata (التَّضَرُّعُ) meliputi kedua pemaknaan itu. Al-Qur’an sengaja menempatkan kata tersebut untuk menyuguhkan makna ini:

“Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Berdoalah dengan penuh kerendahan diri dan kekhusyukan, baik di waktu berdoa dengan suara yang jelas, atau dengan suara yang lemah lembut.”

Hal ini dipertegas oleh kesimpulan Ustadz Muhammad Râsyîd Ridhâ di bawah ini:
“Kedua bentuk doa itu punya waktu tersendiri. At-Tadarru’ dengan suara yang jelas bagus dan tepat di waktu menyendiri, aman dari penglihatan orang lain, sehingga mereka tidak merasa terusik dengan suara itu, dan perhatian orang yang berdoa tidak disibukkan dengan mereka dari konsentrasi membujur kepada Allah SWT, serta doanya tidak rusak dengan ria dan ujub.

Sementara itu, At-Tadarru’ dengan lemah lembut (yang hanya didengar olehnya sendiri) baik dan tepat di tempat terbuka, atau saat berada di khalayak ramai, seperti: Masjid dan di tempat yang menghidupkan syiar-syiar agama, kecuali pada waktu yang dibolehkan mengangkat suara, seperti: talbiyah di haji, takbir di kedua shalat Id. Itu boleh karena pelaksanaan ibadah-ibadah seperti ini dikerjakan secara saksama dan jauh dari puji diri.” [[5]]

Olehnya itu, ayat ini ditutup dengan firman-Nya:

(إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ المُعْتَدِيْن)

Maksudnya, dalam kondisi bagaimanapun, Anda tidak dibolehkan melampaui batas yang wajar dalam berdoa. Di antara hal yang tidak diperbolehkan dalam berdoa telah dicontohkan alQâdhi Ibn Atiyyah berikut ini:

“Kalimat tersebut meskipun maknanya umum, tetapi karena ia dalam konteks doa, maka ia mengisyaratkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam berdoa. Di antara hal tersebut, seperti: berteriak-teriak meminta. Ini telah diperingatkan Rasul Saw kepada kaum yang terlalu membesarkan suara pada saat takbir, beliau bersabda: (Wahai manusia, rendahkanlah suaramu, sesungguhnya engkau tidak berdoa kepada yang tuli, atau kepada yang gaib).[[6]]Dan yang lainnya lagi, seperti: meminta kedudukan yang sederajat dengan nabi, atau meminta sesuatu yang mustahil terjadi, serta berdoa melakukan kemaksiatan.”[[7]]

Kata (المُعْتَديْن) yang melampaui batas dapat juga menjadi teguran terhadap mereka yang memahami bahwa doa itu tidak lain kecuali sarana memenuhi segala keinginan. Telaah mendalam seperti ini telah diperlihatkan Syekh Mutawalli as-Sya’râwî berikut ini:

“Hindarkan diri Anda untuk tidak berdoa kecuali ingin memenuhi hajat semata!
Yang wajib Anda lakukan berdoa dengan memperlihatkan kepada-Nya kerendahan diri, kehinaan dan kekhusyukan, karena seandainya saja Anda tidak berdoa, maka segala urusan Anda terjadi sesuai dengan garis ketentuan ilahi. Jangan pernah mengira bahwa Anda berdoa supaya terwujud harapan-harapan Anda, karena Allah SWT Maha Suci untuk Anda jadikan sebagai pegawai Anda. Inilah aturan baku yang Allah tetapkan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan Anda sekalian.”[[8]]

Hematnya, tujuan doa memperlihatkan kehambaan kita kepada Allah SWT, diterima atau tidaknya doa tersebut itu permasalahan kedua. Karena jika ia terkabulkan, maka itu adalah karunia-Nya, dan jika tidak terkabulkan itu pun karunia-Nya. Di sana ada kemaslahatan di balik penerimaan, penolakan, dan penundaan dari terkabulkannya doa yang jauh dari pengetahuan manusia sendiri.

Adab kedua: Jangan melakukan kerusakan di bumi!

Al-Qâdhi Ibn Atiyyah berkata:

“Firman-Nya: (وَلاَ تُفْسِدُوْا فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا)cakupannya sangat umum, meliputi segala bentuk kerusakan, baik yang besar atau kecil, setelah adanya perbaikan. Olehnya itu, tujuan pelarangan tersebut bersifat umum, dan tidak boleh dijustifikasi buta terhadap satu jenis kerusakan, karena hukum seperti ini menyalahi seruan tersebut.”[[9]]
Di antara bentuk kerusakan yang sering dipaparkan Al-Qur’an dalam konteks doa, perilaku sebagian kelompok yang kembali kepada kesesatan setelah doanya terkabulkan dari sebuah bencana dan kesulitan. Ini tercatat dengan begitu apik di ayat-ayat berikut ini:

Ayat pertama: “Dan ketika mereka ditimpa azab mereka pun berkata: (Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat mengangkat azab itu dari kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu). Maka setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya.” (QS. Al-A’raf [7]: 134-135]

Di ayat lain firman-Nya: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus [10]: 12)

Hemat penulis, telah jelas bahwa faedah doa bukan hanya terbatas dari hajat yang terpenuhi seketika itu, tetapi bagaimana menjaga kemurahan dan karunia Allah tersebut supaya tidak pergi dengan sendirinya. Tentunya, tidak ada cara lain untuk menjaganya kecuali tetap berada di jalan Allah. Apalah artinya doa yang terkabulkan pada suatu waktu, tetapi di waktu-waktu lain kita kembali terjerumus dalam kemungkaran dan kemaksiatan. Faedah doa bukan hanya ingin dilihat hari ini dan esok, tetapi faedahnya ingin dipetik di akhirat. Doa yang berkah doa yang senantiasa mengatakan seperti ini:

“Wahai diriku yang terkabulkan doanya! Aku sebenarnya enggan menyuguhkan kenikmatan ini jika di lain hari engkau kembali mengingkari Tuhanmu. Jagalah nikmat ini dengan tidak kembali menengok dunia hitam, apalagi jatuh di lembah kemaksiatan! Aku ingin senantiasa dipetik hari ini, esok dan di akhirat, bukan hanya sehari, kemudian melupakan Sang Maha Pemberi yang telah menjadikan aku fasilitas gratis guna mendekatkan dirimu kepada-Nya.”

Adab ketiga dan keempat: takut doa tidak diterima dan berharap penuh dikabulkan
Makna ini dijustifikasi Syekh al-Alûsî sebagai makna yang banyak dipilih oleh pakar tafsir. Beliau berkata:

“Firman-Nya: (ادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا) artinya: berdoalah dengan penuh rasa takut dari doa yang tidak mustajab karena ketidaklayakan Anda untuk menjadi orang-orang yang doanya mustajab, dan jangan pernah putus asa untuk senantiasa berharap penuh terhadap jawaban-Nya sebagai karunia untukmu dari-Nya. Inilah pilihan kebanyakan mufassir.”[[10]]

Di lain sisi, Syekh Mutawalli as-Sya’rawî memaparkan makna yang cukup luas, beliau berkata:

“Di sini Al-Qur’an menjelaskan adab lain berdoa, yaitu: (ادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا) artinya: takutlah dari segala bentuk manifestasi nama-Nya (القَهَّارُ) yang Maha Menaklukkan, dan berharaplah dengan segenap harapan dari segala bentuk manifestasi nama-Nya (الغَفَّارُ) yang Maha Pengampun, dan (الرَّحِيْمُ) yang Maha Pengasih. Berdoalah dengan penuh rasa takut dari segala bentuk ketergantungan sifat keperkasaan-Nya, dan berharaplah mendapatkan karunia dari segala bentuk ketergantungan sifat keindahan dan kemurahan-Nya.” [[11]]

Hemat penulis, kedua teks tersebut saling melengkapi dalam memberikan sebuah pemaknaan. Karena jika doa terkabulkan, maka segala aneka karunia dan kenikmatan yang ada di khazanah sifat-sifat keindahan dan kemurahan-Nya tercurahkan dengan sendirinya melebihi volume curah hujan. Akan tetapi, jika doa tidak terkabulkan, maka dengan sendirinya pula turun azab yang datang dari keperkasaan dan keagungan-Nya.

Olehnya itu, kedua kelompok kata yang ada pada ayat itu mustahil dipisahkan, demi terciptanya pemaknaan yang apik dan sempurna. Maha Suci Allah yang telah memilih kosa kata Al-Qur’an dan menempatkannya di tempat yang layak untuknya, pemilihan dan penempatan yang jauh dari kesanggupan para ahli bahasa.

Di penghujung tulisan singkat ini, saya yakin pemerhati tema-tema keislaman dengan mudah menyimpulkan apa yang ada di atas dan berkata:

“Doa adalah otak ibadah, tetapi tidak semua doa punya ketinggian derajat seperti itu. Doa yang sampai ke derajat itu adalah doa yang mustajab. Doa mustajab doa yang dipanjatkan dengan penuh rendah diri dan khusyuk, takut tidak diterima serta berharap penuh dikabulkan. Doa mustajab itu bukan hanya hasilnya dipetik hari ini. Akan tetapi ia senantiasa dipetik hari ini, esok dan di akhirat. Carilah dengan doa karunia dan kenikmatan-Nya yang ada pada khazanah sifat keindahan dan kemurahan-Nya, dan hindari dengan doa pula azab-Nya yang ada pada sifat keperkasaan-Nya!”

Catatan Kaki:
[1] Lihat: Imam Ibn Jarir at-Thabari, Tafsir at-Thabari, vol. 12, hlm. 485
[2] Lihat: al-Allâma Abu Hayyân, al-Bahru al-Muhîth, vol. 4, hlm. 312, dan al-Hâfidzh Ibn Katsîr, Tafsir Ibn Katsîr, vol. 6, hlm. 321
[3] Lihat: al-Qâdhi Ibn Atiyyah, al-Muharrâr al-Wajîz, vol. 2, hlm. 410
[4] Lihat: al-Allâma Muhammad Thâhir bin Asyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 8, hlm. 172
[5] Ustad Muhammad Râsyîd Ridhâ, Tafsir al-Manâr, vol. 8, hlm. 457
[6] Hadit ini dikeluarkan Imam al-Bukhârî di Shahîhnya dari Abi Musa al-Asyarî r.a, kitab as-Siyar wa al-Jihad, bab Mâ Yukrah min Raf’i as-Shawt fi at-Takbîr, hadits, no. 2992, hlm. 824
[7] Lihat: alQâdhi Ibn Atiyyah, Op.Cit, vol. 2, hlm. 410
[8] Syekh Mutawalli as-Sya’râwî, Tafsir as-Sya’râwî, vol. 7, hlm. 4174
[9] Lihat: alQâdhi Ibn Atiyyah, Op.Cit, vol. 2, hlm. 410
[10] Lihat: Syekh al-Alûsî, Ruhul Maânî, vol. 8, hlm. 140
[11] Lihat: Syekh Mutawalli as-Sya’rawî, Op.Cit, vol. 7, hlm. 4180

17 November 2011

Nasihat Memilih Pasangan Hidup

dakwatuna.com - Bismillah…

Teringat dengan beberapa baris kata yang sering sekali terekam di dalam kepala,

“Tak perlu menuntut yang sempurna, dan mempersulit keadaan yang sebenarnya sederhana. Sebab padamu juga kelemahan itu selalu ada. Yang benar adalah sempurnakanlah niat awal kita, jika ia penuh berkah dan ridha dari-Nya, maka titik kemuliaan menjadi seorang manusia, Insya Allah akan dimudahkan oleh Allah untuk ada dalam diri kita”
Ada juga sebuah selentingan yang cukup “menggigit”,

“Semakin banyak kriteria, semakin banyak syarat, semakin banyak keinginan.. maka bersiap-siaplah kecewa. Apa penyebabnya ? karena bisa jadi yang diharapkan tak seindah realita, yang disyaratkan tak sempurna dalam lakunya. Maka berharap menemukan seseorang dalam kesempurnaan hanya membuat yang sederhana menjadi rumit dan tak mudah untuk dicerna”

Tentang penggalan kalimat kedua di atas. saya (lagi-lagi) teringat buku Serial Cinta-nya Anis Matta, di topik “Mengelola Ketidaksempurnaan”

“Apa lagi ketampanan yang tersisa di dunia ini ketika telah dibagi habis kepada Nabi Muhammad SAW, dan Yusuf AS. Dan kecantikan yang telah disempurnakan kepada Sarah istri Ibrahim AS dan Khadijah RA Istri Rasulullah. Hingga pesona kebajikan pun telah direnggut habis oleh Utsman bin Affan dan keluruhan budi telah dimiliki secara purna oleh Aisyah RA”

Lalu apa yang tersisa bagi kita manusia? Kita hanya terbagi sedikit (kalaupun ada) keshalihan-keshalihan para salafushalih yang telah hidup dalam cinta pada-Nya secara sempurna. Maka mengharap sebuah kesempurnaan pada seseorang, apalagi ukurannya adalah cantik, kaya, punya kedudukan, juga sangat shalih tanpa cela. Maka bersiap-siaplah kecewa serta bersiap-siaplah untuk terpasung dalam kerumitan. karena mencari satu dari sekian banyak pasangan jiwa dengan kriteria di atas, tak lebih hanya menyulitkan keadaan dan memperkecil kesempatan.

Tapi ini soal SELERA? Ini soal pasangan jiwa yang akan kita punya seumur hidup kita? Kalau kita tak CINTA, kita tak TERTARIK.. bisa kacau akhirnya?

Karena jawaban-jawaban inilah. Kita tengok saja hati-hati kita. Sebab jika NIAT Lillahi Ta’ala, maka kemuliaan pernikahan akan sangat jauh kedekatannya dengan nilai-nilai DUNIA. Ia hanya lekat dengan sebuah tujuan sederhana, “Menikah untuk membuatku lebih cinta pada-Nya, lebih tenteram beribadah kepada-Nya, menjaga kehormatan dan farj-ku dari kemaksiatan, dan menyempurnakan agamaku dan agamanya agar jauh lebih menghamba”. Jika ini terpasung kuat di dalam diri. Maka tambahan kriteria-kriteria lain yang lebih terkesan dunia, Insya Allah akan mulai mudah hilang dalam hitungan waktu yang berikutnya.

Sebagai kalimat penutup, saya ingin menuliskan barisan kalimat sederhana berikut :

“Ukurlah diri.. Berkacalah sedetail mungkin. Karena bisa saja CELA itu jauh lebih banyak dibanding kriteria yang telah diinginkan. Maka tanyalah pada hati yang jernih agar bisa memberi fatwa. Manakah patokan yang harus kau pakai. Jangan sampai hanya ukuran dunia yang menjadi tujuan kita”

Allahu’alam Bishawab..