Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

20 Agustus 2009

Berhati-hati dengan "Salam"

Mungkin karena kesibukan, diantara kita sering menyingkat ucapan "salam" yang arti awalnya do’a keselamatan justru menjadi "cacian" dan kata "jorok". Lho bagaimana bisa?

Hidayatulloh. com--Ucapan "Assalamu'alaikum", merupakan anjuran agama, dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan umat beragama, dengan salam dapat menjalin persaudaraan dan kasih sayang, karena orang yang mengucapkan salam berarti mereka saling mendo'akan agar mereka mendapat keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kalian tak akan masuk surga sampai kalian beriman dan saling mencintai. Maukah aku tunjukkan satu amalan bila dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Yaitu, sebarkanlah salam di antara kalian." [HR Muslim dari Abi Hurairah]

Saya seringkali menerima sms atau e-mail dari beberapa kawan dan juga beberapa ustadz yang mengawali salamnya dengan singkatan. Singkatannya pun macam-macam. Ada yang singkat seperti "Asw" atau "Aslm". Ada yang sedikit lebih panjang seperti ; "Ass Wr Wb" atau "Aslmwrwb" . Namun yang sering saya dapatkan, adalah singkatan "Ass". Singkatan terakhir ini paling umum dan paling sering digunakan. Bagi saya, ini adalah singkatan yang tidak enak untuk dibaca, terlebih kalau mengerti artinya.

Marilah kita simak singkatan ini. Dalam kamus linguistik yang saya punya, arti dari kata Ass yang berasal dari bahasa Inggris itu adalah sebagai berikut;
"Ass" berarti: Pertama, kb. (animal) yang artinya keledai. Kedua, orang yang bodoh. Don't be a silly (Janganlah sebodoh itu). Dan ketiga, Vlug (pantat).

Padahal seperti kita ketahui ucapan Assalamu'alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh adalah sebuah ucapan salam sekaligus do’a yang kita tujukan kepada orang lain. Ucapan salam dalam Islam sesungguhnya merupakan do'a seorang Muslim terhadap saudara Muslim yang lain. Maka, apabila kita mengucap salam dengan hanya menuliskan "Ass", secara tidak sadar mungkin kita malah mendo’akan hal yang buruk terhadap saudara kita.

Kita paham, mungkin banyak orang diantara kita cukup sibuk dan ingin cepat buru-buru menulis pesan. Barangkali, singkatan itu bisa mempercepat pekerjaan. Karena itu, penulis menyarankan, jika memang keadaan sedang tidak memungkinkan untuk menulis salam lewat SMS dengan kalimat lengkap karena sedang menyetir di jalan, misalnya, solusinya cukup mudah adalah menulis pesan to the point saja. Tulislah "met pagi, met siang, met malam dan seterusnya. Ini masih lebih baik dibandingkan kita harus memaksakan diri menggunakan singkatan dari do’a keselamatan Assalamu'alaikum menjadi "Ass" (pantat).

Jangan sampai awalnya kita ingin menyampaikan do’a keselamatan yang terjadi justeru sebaliknya, mendo’akan keburukan. Kalau boleh saya mengistilahkah, niat baik ingin berdo’a, jadinya malah ucapan kotor.

Ucapan salam adalah ucapan penghormatan dan do’a. Apabila kita dihormati dengan suatu penghormatan maka seharusnya kita membalas dengan sebuah penghormatan pula yang lebih baik, atau minimal, balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya ALLOH SWT akan memperhitungkan setiap yang kamu kerjakan.

Hanya saja, kalau kita mengganti ucapan kalimat salam arti awalnya sangat mulia, maka, yang terjadi adalah sebaliknya, salah dan bisa-bisa menjadi umpatan kotor.
Karena itu, jika tidak berhati-hati, mengganggati ucapan Assalamu'alaikum (Semoga sejahtera atasmu) dengan menyingkatnya menjadi "Ass" (pantat), ini mirip dengan mengganti do’a yang baik dengan mengganti dengan bahasa jalanan orang Jakarta, yang artinya kira-kira, berubah arti menjadi (maaf) "Pantat Lu!"

Singkatan ala Rosululloh

Meski nampak sederhana, ucapan salam sudah diatur oleh agama kita (Islam). Ucapan Assalamu alaikum dalam Bahasa Arab, digunakan oleh kaum Muslim. Salam ini adalah Sunnah Nabi Muhammad SAW, intinya untuk merekatkan ukhuwah Islamiyah umat Muslim di seluruh dunia. Mengucapkan salam, hukumnya adalah sunnah. Sedangkan bagi yang mendengarnya, wajib untuk menjawabnya. Itulah agama kita.

Sebelum Islam datang, orang Arab terbiasa menggunakan ungkapan-ungkapan salam yang lain, seperti Hayakalloh. Artinya semoga ALLOH SWT menjagamu tetap hidup. Namun ketika Islam datang, ucapan itu diganti menjadi Assalamu 'alaikum. Artinya, semoga kamu terselamatkan dari segala duka, kesulitan dan nestapa.

Ibnu Al-Arabi didalam kitabnya Al-Ahkamul Qur'an mengatakan, bahwa salam adalah salah satu ciri-ciri ALLOH SWT dan berarti "Semoga ALLOH SWT menjadi Pelindungmu".

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Rosul bersabda, "Kamu tidak akan masuk surga hingga kamu beriman, dan kamu tidak beriman hingga kamu saling mencintai (karena ALLOH SWT). Apakah kamu mau jika aku tunjukkan pada satu perkara jika kamu kerjakan perkara itu maka kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kamu!" (HR. Muslim)

Abu Umammah RA meriwayatkan bahwa Rosululloh SAW bersabda: "Orang yang lebih dekat kepada ALLOH SWT adalah yang lebih dahulu memberi Salam." (Musnad Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi)

Abdulloh bin Mas'ud RA meriwayatkan Bahwa Rosululloh SAW bersabda, "Salam adalah salah satu Asma ALLOH SWT yang telah ALLOH SWT turunkan ke bumi, maka tebarkanlah salam. Ketika seseorang memberi salam kepada yang lain, derajatnya ditinggikan dihadapan ALLOH SWT. Jika jama'ah suatu majlis tidak menjawab ucapan salamnya maka makhluk yang lebih baik dari merekalah (yakni para malaikat) yang menjawab ucapan salam." (Musnad Al Bazar, Al Mu'jam Al Kabir oleh At Tabrani)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rosululloh SAW bersabda, "Orang kikir yang sebenar-benarnya kikir ialah orang yang kikir dalam menyebarkan Salam." ALLOH SWT berfirman didalam Al-Qur'an Surat An-Nisa Ayat 86. Demikianlah ALLOH SWT memerintahkan agar seseorang membalas dengan ucapan yang setara atau yang lebih baik.

Bedanya agama kita dengan agama lain, setiap Muslim ketika mengucapkan salam kepada saudaranya, dia akan diganjar dengan kebaikan (pahala).

Dalam kaidah singkat menyingkat pun sudah diatur oleh ALLOH SWT dan diajarkan kepada Rosululloh SAW. Dalam suatu pertemuan bersama Rosululloh SAW, seorang sahabat datang dan melewati beliau sambil mengucapkan, "Assalamu 'alaikum". Rosululloh SAW lalu bersabda, "Orang ini mendapat 10 pahala kebaikan," ujar beliau.

Tak lama kemudian datang lagi sahabat lain. Ia pun mengucapkan, "Assalamu'alaikum Warahmatulloh." Kata Rosululloh SAW, "Orang ini mendapat 20 pahala kebaikan." Kemudian lewat lagi seorang sahabat lain sambil mengucapkan, "Assalamu 'alaikum warahmatulloh wa baraokatuh." Rosululloh pun bersabda, "Ia mendapat 30 pahala kebaikan." [HR. Ibnu Hibban dari Abi Hurairah].

Nah dari tiga singkatan itu silahkan Anda pilih yang mana yang Anda inginkan tanpa harus menyingkatnya sendiri yang justru bisa menghilangkan nilai pahalanya. Tentu saja, jangan Anda lupakan, tiga singkatan itu sudah rumus dari Nabi yang dipilihkan untuk kita.

Satu hal lagi yang perlu diingat adalah ketika kita menuliskan kata Assalamu'alaikum, perlu diperhatikan agar jangan sampai huruf L nya tertinggal sehingga menjadi Assaamu'alaikum.

Karena apa ? Diriwayatkan bahwa dahulu ada seorang Yahudi yang memberi salam kepada Nabi dengan ucapan "Assaamu 'alaika ya Muhammad" (Semoga kematian dilimpahkan kepadamu).

Dan kata assaamu ini artinya kematian. Kata ini adalah plesetan dari "Assalaamu 'alaikum". Maka nabi berkata, "Kalau orang kafir mengatakan padamu assaamu 'alaikum, maka jawablah dengan wa 'alaikum (Dan semoga atas kalian pula)." [HR. Bukhari]

Tulisan ini, mungkin nampak sederhana. Meski sederhana, dampaknya cukup besar. Boleh jadi, kita belum pernah membayangkannya selama ini. Nah, setelah ini, sebaiknya alangkah lebih baik jika memulai kembali menyempurnakan salam kepada saudara kita. Tapi andaikata memang kondisi tak memungkinkan, sebaiknya, pilihlah singkatan yang sudah dipilihkan Nabi kita Muhammad SAW tadi. Mungkin Anda agak capek sedikit tidak apa-apa, sementara sedikit capek, 30 pahala kebaikan telah kita kantongi.

[indra yogiswara,/www.hidayatulloh. com]

Ar Rahman dan Ar Rahim

Seorang teman bertanya kepada seorang hamba Allah, “Kalau Allah memiliki sifat Ar Rahman dan Ar Rahim, kenapa di dunia ini masih banyak penderitaan, penindasan dan kemiskinan? Tidakkah Allah Maha Berkuasa atas semua itu dan dapat merubahnya menjadi kebahagian, kecukupan dan kekayaan. Dimana letak keadilan Allah SWT?

Hamba itu berusaha untuk menjawabnya. Awalnya ia bercerita tentang hakikat penciptaan manusia yang Allah SWT sampaikan di dalam kitab-Nya yang mulia Al Quran. Dalam QS Al Insaan [76] ayat 2, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat.”

Inilah sebenarnya hakikat penciptaan manusia tersebut. Allah SWT hendak menguji setiap diri manusia dengan keadaan yang ia alami. Apakah keadaan itu menyenangkan buatnya ataupun menyusahkan baginya. Bukankah Allah memberi sesuatu yang paling berharga bagi manusia? Yang dapat ia pakai sebagai alat survival bagi keadaannya. Allah SWT memberi manusia "Akal". Ayat diatas menyebutkan, “Karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat.” Bukankah Akal akan bekerja dengan input pendengaran dan penglihatan? Data yang masuk melalui pendengaran dan penglihatan akan dicerna melalui akal dan kemudian ia akan memutuskan langkah apa yang akan ia ambil untuk menghadapi apa yang sedang meliputi dirinya. Jika apa yang ia lihat dan ia dengar menjadikan ia sedih, ia akan berusaha mengatasi kesedihannya. Ketika ia kekurangan, ia berusaha untuk mencukupi dirinya. Demikian seterusnya.

Di ayat berikutnya Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur” (QS Al Insaan [76]:3).

Di ayat ini Allah ingin menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan hati nurani bagi manusia yang dalam bahasa arab disebut Qalb. Sesuatu yang dipenuhi nilai-nilai ke-Illahiah-an. Dalam bahasa “Science Modern” disebut dengan “God Spot”. Sesuatu yang dapat menuntun manusia ke suatu jalan yang Allah ridhai. Tapi kenapa banyak dari manusia tersesat walaupun hati tersebut dipenuhi dengan nilai ke-Illahiah-an? Karena manusia sendiri yang tidak dapat menerjemahkan sinyal-sinyal ke-Illahiah-an tersebut. Ia selalu menutup hatinya untuk memahami. Ego dirinya lebih kuat dari keinginan untuk menerima kebenaran. Allah SWT berfirman di dalam Al Quran:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan Nya? Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. Al Jatsiyah [45]: 23)

Ada suatu riwayat dari Al Quran ketika Allah SWT menyuruh para makhluknya (malaikat) untuk bersujud kepada Adam. Allah berfirman di QS Al Hijr [15]: 29, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”

Dalam tafsir Al Mishbah, Dr Quraish Shihab menafsirkan bahwa Allah menyuruh malaikatnya untuk bersujud kepada ruh-Nya yang ada pada Adam as tersebut, bukan kepada bentuk manusia-nya. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa manusia itu memiliki nilai yang sangat tinggi disisi Allah karena ada ruh Allah SWT di dalam dirinya. Karena hal yang demikian Allah telah memilih manusia untuk menjadi khalifahnya di muka bumi ini. Hal yang pada mulanya dipertanyakan oleh para malaikatnya. Hal ini Allah SWT sampaikan di QS Al Baqarah [2]:30:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensyucikan Engkau?’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”

Dalam bukunya “Even the Angel Ask” yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Bahkan Malaikatpun Bertanya” karya seorang mualaf amerika Dr. Jeffrey Lang, hal ini menjadi pokok bahasannya yang sangat panjang. Ia menyimpulkan bahwa manusia diberi Allah sesuatu yang tidak ada pada malaikat yaitu hati dan akal.

Jadi kenapa Allah seolah-olah membiarkan kemiskinan, penderitaan dan penindasan itu terjadi, hal itu tak lain adalah hakikat dari penciptaan manusia itu sendiri. Allah SWT ingin mengujinya dan Allah telah memberi manusia “akal dan hati” untuk dapat survive dalam kehidupannya yang tidak dimiliki makhluk lain.

Dalam hal menjawab pertanyaan yang kedua: “Dimana letak adilnya Allah?” Mungkin sang teman lupa kalau hakikat dunia bukan tempat meraih hasil. Setiap shalat 17 kali sehari semalam kita membaca “Maliki yau middin” dalam surat Al Fatihah yang berarti “Yang Menguasai hari Pembalasan.” Bukankah pembalasan itu kelak di akhirat nanti?

Kita baru dapat mengatakan seseorang telah berbuat adil kepada kita jika apa yang kita lakukan telah mendapat balasannya. Bagi seorang pekerja, ia akan mengatakan majikannya adalah seorang yang adil jika si majikan telah membayarnya upah sesuai dengan beban yang ia kerjakan. Dapatkah kita mengatakan Allah SWT tidak adil saat didunia ini? Sementara hasil dari apa yang menjadi amal shaleh kita belum mendapat balasannya? Kalaupun ada balasan itu baru hanya sekedar panjar karena dunia ini bukanlah tempat menuai hasil.

Allah mengibaratkan hubungan-Nya dengan hamba-Nya seperti hubungan jual beli (tijarah). Hal ini termaktub dalam QS Ash Shaff [61] ayat 10. Allah ‘Azza wa Jalla tidak berjual beli tunai karena jual beli tunai tidak memerlukan saling percaya. Jika dua orang melakukan jual beli tunai, maka tidak perlu ada kepercayaan antara si penjual dengan si pembeli asal tercapai kesepakatan diantara penjual dan pembeli mengenai mutu barang dan harga yang sesuai. Tapi jika si pembeli ingin mencicilnya, atau si penjual memerlukan panjar (DP), maka diperlukan saling percaya dan menghormati. Saling percaya inilah yang disebut keimanan kepada Allah SWT. Saat ini, di dunia, kita diperintahkan untuk mentaati Allah SWT dan sabar serta ikhlas dalam mentaatinya. Jika tidak ada keimanan dalam hati kita, dapatkah kita melakukannya?

Cobalah kita bayangkan jika si miskin dengan doanya tiba-tiba menjadi kaya; yang kaya karena didoakan oleh si miskin langsung jatuh menjadi miskin; yang sakit tiba-tiba menjadi sembuh; yang terbunuh tiba-tiba bangkit dan membunuh si pembunuh; yang bersedeqah langsung dibalasi dengan berlipat ganda oleh Allah SWT di dunia ini; Seorang pengendara sepeda motor yang menyalip sebuah mobil langsung terjatuh karena didoakan celaka oleh pengemudi mobil dan anak yang berbohong kepada orang tuanya akan langsung terjulur lidahnya. Apakah semua ini dapat dikatakan pembalasan yang adil? Jika semua ganjaran dari segala usaha kita balasannya di dunia ini justru “dunia sebagai tempat ujian” sudah tidak berlaku lagi. Dan yang sangat tidak adil adalah balasan di dunia itu hanya bersifat sementara karena “umur” manusia hanya sementara. Berbeda dengan balasan di akhirat yang bersifat kekal dan berkesinambungan.

Dapat dipastikan juga keimanan kita secara perlahan akan memudar karena segala bentuk ibadah kita hanya mengharapkan balasannya saja di dunia ini. Ke-ikhlas-an untuk berbuat karena Allah semata luntur dan tak terasa manisnya lagi. Taqwa jadi hanya tinggal nama. Kita menjadi manusia-manusia yang hanya mengukur segalanya dari materi.

Demikianlah yang dapat disampaikan. Kebenaran hanya milik Allah SWT.

Wallahu ‘alam bissawab…